PWMU.CO – Cerita Din Syamsuddin soal Pemimpin Agama Dunia yang Terbelalak pada Muhammadiyah. Awalnya, Prof M Din Syamsuddin MA PhD mengungkap kondisi dunia sebelum Covid-19 melanda sebenarnya sudah rusak. Hasil perbincangan beberapa cendekiawan Muslim dalam pertemuan tingkat dunia sejak awal 2000an menyimpulkan, dunia Islam harus memberikan solusi.
Dia ingat pernyataan Tariq Ramadan—intelektual Muslim yang berdomisili di Inggris—dunia Islam harus menampilkan peradaban alternatif.
Menurut Din Syamsuddin, Covid-19 bagian dari intervensi Ilahi yang membuat kita semua terbelalak. “Karena upaya-upaya perbaikan terhadap peradaban dunia yang rusak tadi banyak dilakukan berbagai kelompok, termasuk kalangan Islam,” terangnya.
Was-Was Tak Ada Langkah Serius
Hampir dua tahun ini, menurutnya, tidak ada langkah serius dari umat manusia selain menunggu situasi normal di mana Covid-19 pergi. “Saya pribadi was-was kalau umat manusia, termasuk umat Islam, tidak menyiapkan langkah ke depan,” ujarnya.
Maka, Din Syamsuddin menilai topik “Kontribusi Muhammadiyah bagi Peradaban Baru” yang diangkat Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat Ahad (7/11/2021) pagi itu menantang.
“Muhammadiyah punya hak dan keberadaannya sebagai kekuatan masyarakat besar di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini untuk memberikan sumbangan pikiran dan aksi,” lanjutnya dalam pertemuan Gerakan Subuh Mengaji Aisyiyah Jawa Barat genap berusia 1 tahun tersebut.
Muhammadiyah Bagian Terdepan Tangani Covid-19
Din Syamsuddin bersyukur, Muhammadiyah termasuk di bagian terdepan dalam menanggulangi Covid-19. Salah satunya lewat Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC).
Saat Din Syamsuddin menyampaikan kontribusi Muhammadiyah di forum internasional muktamar General Assembly of Asian Conference of Religions for Peace, para pemimpin kelompok agama di dunia terbelalak.
Terutama bagaimana Muhammadiyah menghimpun dan mengeluarkan dana lebih dari Rp 1 triliun. Juga berbagai kegiatan yang melibatkan rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Sekarang pertanyaannya, apa kontribusi pascapandemi Muhammadiyah dalam membangun peradaban dunia. “Apa sebaiknya yang kita ajukan sebagai konsep peradaban?”
Ragam Istilah Peradaban
Din Syamsuddin mengulas peradaban yang berasal dari kata dasar adab dengan imbuhan per- dan -an. Kata dasarnya berasal dari bahasa Arab yang punya arti berbeda dengan peradaban dalam bahasa Indonesia. Adab dalam bahasa Arab berarti kesusastraan.
Sedangkan peradaban bermakna sama dengan civilization dalam bahasa Inggris. “Peradaban haruslah menampilkan ketinggian sastra, bahasa, keindahan, sekaligus refleksi dari akhlak,” terangnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT mengajarkan adab, maka anda perlu adab untuk menjadi baik.”
Dalam khazanah Islam, lanjut Din, ada istilah tamaddun dan tsaqafa. “Tsaqafa sering dipahami secara terbatas sebagai kebudayaan. Hasil rasa, karsa, dan cipta manusia dalam berbagai aspek, bahkan ada yang memasukkan agama sebagai bagian kebudayaan,” terangnya.
Sejauh ini, tsaqafa dalam bahasa Inggris, berarti culture (kebudayaan). Yaitu lebih tentang piranti dalam, wujud manusia berkebudayaan. Bukan civilization (peradaban) atau pengembangan budaya. Yaitu penampakan luar berupa arsitektur, seni, teknologi, dan ilmu pengetahuan.
Berkembang pula beragam pemahaman untuk tamaddun. Ada yang mengaitkan dengan Madinah yang Rasulullah SAW ciptakan, wujud urban society phenomena (fenomena perkotaan modern). Ada yang mengartikan tempat agama, di mana agama harus melahirkan tamaddun.
Selain itu, ada istilah ‘umran dari Ibnu Khaldun yang berarti peradaban. “Ada penampakan kemajuan kehidupan umat manusia,” terangnya.
Para cendekiawan ulama modern menggunakan istilah menggunakan istilah madaniah untuk peradaban. Tapi dunia Islam modern ada juga yang menggunakan istilah al-khadharah. “Artinya yang selalu hadir. Tampil memberi jawaban atau solusi atas masalah peradaban atau selalu memberi kreativitas yang baru,” tambahnya.
Solusi Masalah Besar
Apapun istilahnya, Din menegaskan, Islam menyebutkan akan terjadi masalah besar di mana manusia terjerembab di titik nadir kemanusiaannya. Manusia banyak hilang kemanusiaannya. Yaitu manusia sekuler, ateis.
Ada liberalisasi budaya, di mana mereka menolak adanya kehidupan setelah mati. “Yang menganggap hidup hanya dari ‘kini dan di sini’, tidak ada ‘nanti dan di sana’. Tidak menempatkan Pencipta dari kerangka pikiran dan bangunan kesadaran,” ungkapnya.
Juga ada kehinaan dan kemiskinan. “Baik kemiskinan materiil maupun rohani,” lanjutnya.
Din menjelaskan, dalam al-Quran disebutkan, umat Islam akan ditimpa kehinaan dan kemiskinan dalam berkebudayaan. “Solusinya? Dengan meningkatkan dan memadukan antara hablumminallah dan hablumminannas,” ungkapnya.
Hablumminallah, menjalin hubungan dengan Allah dengan beribadah. Hablumminannas, menurut pemahaman Din, bukan sekadar etika mikro seperti berperilaku baik dan sopan santun.
“Tapi etika aktif, menjalin tali kemanusiaan yang menjelma dalam at-taawun, yaitu kerja sama lintas agama dalam membangun kehidupan bersama,” ujarnya.
Muhammadiyah dengan Islam berkemajuannya, kata Din, salah satu cirinya mampu meningkatkan hablumminallah yang menjelma dalam hablumminannas. “Ibadah mahdhah yang kita lakukan harus fungsional, membawa kita pada adanya komitmen etik berupa akhlak untuk membangun kerja sama,” tuturnya.
Din Syamsuddin menegaskan, inilah jaminan terbebas dari kerusakan peradaban.
Kontribusi Konsep Tanggulangi Covid-19
Din Syamsuddin menyatakan, kontribusi Muhammadiyah juga umat Islam ke depan, adalah menyiapkan peradaban baru. “Dengan mengevaluasi dan berkaca pada peradaban lama yang rusak ini,” jelasnya.
Jadi, perlu mengganti pusat kesadaran dari antroposentrisme (dari manusia sendiri) ke teosentrisme (ke Tuhan). “Itulah innalillahi wainna Ilaihi raji‘un! Kalau ditimpa musibah, kaum beriman optimis, bersabar!” tegasnya.
Din juga mengimbau untuk mengembalikan ke orbit keimanan, sehingga mengorbitkan diri ke sebuah peradaban tinggi.
Kontribusi Konsep Hadapi Normal Baru
Din Syamsuddin juga menawarkan konsep menghadapi masa normal baru nantinya. Sesuai penggalan ayat al-Quran, yaitu menampilkan hayyatan thayyiban. Yaitu membudayakan kehidupan baru dengan memperhatikan kehalalan yang kita konsumsi. “Inilah dasar dari baldatun thayyiban,” ungkapnya.
Sekarang, menurut Din, manusia merayakan kebebasan dari pandemi. Padahal kaum beriman tidak merayakan, tapi bermuhasabah, lalu taqarrub kepada Allah, dan mengamalkan hayyatan thayyiban.
Maka, menurutnya ada peluang bagi Muhammadiyah. “Kita menyebarkan dakwah Muhammadiyah yang sudah kita amalkan. Islam berkemajuan, wataknya wasathiyah (pertengahan, tidak sekadar moderat), dan menekankan amal,” paparnya.
Din pun mengungkap wawasan keislaman penting itu perlu ditulis dalam bahasa Arab dan Inggris. Dia menegaskan, “Ini ada kesempatan yang harus kita utamakan!”
Sebab, wawasan kemuhammadiyahan, apalagi Islam berkemajuan itu, Islam yang memadukan agama dan peradaban. “Muhammadiyah sudah mengamalkannya, tinggal kita sistematisasi, kita susun pikiran-pikiran Kemuhammadiyahan yang sudah kita amalkan untuk jadi bagian umat Islam paling tidak!”
Terakhir, dia menekankan bagaimana kita memantabkan diri, berkeyakinan dengan satu paham pengamalan keislaman ala Muhammadiyah. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni