PWMU.CO – Kebebasan beragama (religious freedom) menurut Imam Shamsi Ali implementasinya beragam antara di Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Hal itu dia sampaikan pada Pengajian Orbit Virtual dengan tema Beragama di Negeri Liberal-Sekular pada Kamis, (11/11/2021)
“Menyikapi religious freedom, implementasinya sangat berbeda. Bahkan kalau kita masuk definisi sekularisme itu sendiri, ada perbedaan antara Eropa Barat khususnya Perancis dengan di Amerika,” katanya.
Kalau di Eropa Barat, menurut Shamsi Ali, yang namanya sekularisme itu, selain hidup untuk kekinian saja, tetapi juga berarti pemisahan antara kehidupan privat dan kehidupan publik.
“Di Eropa Barat, kehidupan privat dan kehidupan publik itu begitu kaku dipisahkan, sehingga praktik-praktik agama dalam kehidupan publik biasanya dilarang termasuk di Perancis dan Jerman,” ucapnya.
Pemahaman Definisi yang Berbeda
Padahal di Amerika Serikat, imbuhnya, konsep sekularisme itu justru hanya negara atau pemerintah tidak punya hak untuk intervensi dalam keimanan, dalam keyakinan, dalam keagamaan atau privasi.
“Tapi semua bisa mempraktikkan agama, baik pada tataran pribadi maupun tataran kolektif atau komunal. Maka jangan heran kalau di Amerika itu ada polisi wanita pakai jilbab, ada pejabat di White House yang pakai jilbab. Tidak ada masalah. Karena ini pemahaman definisi yang berbeda,” terangnya.
Direktur Jamaica Muslim Center New York tersebut mengatakan, bentuk pemahaman sekularisme di Barat yang menunjukkan bahwa kehidupan privat dan kehidupan publik harus dipisahkan secara kaku inilah yang menjadi masalah.
“Satu sisi mereka mengkampanyekan religious freedom, tapi di sisi lain mereka merepresi kehidupan beragama di tempat-tempat umum. Maka di Perancis misalnya, pakai jilbab dilarang di tempat umum,” katanya.
Menurutnya Shamsi Ali, kalau mereka yakin dengan hak asasi manusia, kebebasan beragama, maka seharusnya mereka memberikan semua kebebasan untuk melaksanakan beragama itu, apakah di dalam rumah atau di luar rumah, selama tidak mengganggu orang lain.
“Dan saya yakin, orang yang memakai jilbab itu tidak menggangu orang lain,” tuturnya.
Adzan Tidak Dilarang di Amerika
Alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam Gombara Makassar ini menceritakan, di Amerika tidak ada pelarangan untuk mengeluarkan suara adzan.
“Sehingga Jamaica Muslim Center yang kami pimpin, ketika melaksanakan shalat lima waktu, atau shalat Jumat khususnya, bisa didengarkan sampai lima blok, khutbah kita maupun bacaan Qur’an kita,” terangnya.
Shamsi Ali menjelaskan, tapi di sisi lain ada teman-teman Muslim kita yang sebelum ditakuti, sudah merasa takut. Inilah yang menurutnya berarti ada kurang ada self confidence dalam bergama.
“Tidak ada pelarangan di Amerika bahwa adzan itu harus di luar. Tidak ada larangan, karena tidak ada aturan. Yang kita pikirkan adalah, jangan-jangan ada tetangga kita yang kurang enak. Tapi terkadang tidak ada tetangga yang kurang enak. Yang justru merasa kurang enak adalah diri kita sendiri,” katanya.
Dia memberikan contoh, ada salah satu teman yang bekerja di sebuah bank dan managernya adalah seorang Yahudi. Ketika datang waktu makan siang, managernya ini order makanan yang biasanya ada daging babi.
“Nah teman kita ini tidak mau makan daging. Ditanya oleh manager, kenapa tidak mau makan? Dia menjawab tidak makan daging. Sampai suatu ketika di bulan Ramadhan, managernya order makanan, lalu pegawai ini tidak mau makan. Manager tahu itu bulan Ramadhan, lalu manager bertanya kenapa tidak makan? Maka pegawai bank ini terpaksa mengatakan kalau dia Muslim,” cerita Shamsi Ali.
Akhirnya manager ini marah dan bertanya, “Kenapa Anda tidak mengatakan sejak dulu kalau anda Muslim? Seandainya aanda terbuka dan mengatakan sejak dulu kalau Anda Muslim, maka saya tidak pernah order babi,” lanjut Shamsi Ali.
Self Confidence dalam Beragama
Inilah yang menurutnya perlu ada self confidence dalam beragama, “Maka kita perlu percaya diri dalam menampilkan dan menampakkan Islam kita ini,” tandasnya.
Shamsi Ali berharap, dengan menampilkan keislaman kita, itu sebagai upaya untuk menyampaikan, bahwa Islam ini harus menjadi solusi.
“Dakwah itu adalah solusi, bukan permasalahan. Dakwah harus kita tampilkan sebagai jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh manusia, termasuk friksi-friksi yang terjadi,” ujarnya.
Dia menuturkan, dakwah harus kita hadirkan sebagai jembatan yang bisa dipahami sebagai jalan harmonisasi kehidupan, termasuk bagaimana kita menampilkan makanan halal atau halal-halal yang lain, karena halal bukan sekedar makanan saja.
“Bagaimana kita menampilkan konsep-konsep islam ini sebagai solusi bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat manusia termasuk ketegangan antar kelompok manusia,” tandasnya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni