Budak Energi dan Sirkuit Mandalika oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Belum lama ini presiden menyempatkan hadir di Sirkuit Mandalika di Lombok Tengah untuk mencoba motor RI1, entah bermerk apa, di atas track balapan internasional itu.
Pada saat yang sama Kalimantan Barat dilanda banjir dan genangannya belum surut hingga hari ini. Saya tidak mempersoalkan mengapa presiden tidak berkunjung ke kawasan bencana di Kalimantan itu, tapi mempersoalkan bencana yang bisa ditimbulkan oleh motor yang mungkin tidak disadari presiden.
Motor adalah senjata pembunuh massal, baik secara langsung atau tidak. Arena balap di Mandalika itu adalah perayaan akan efektivitas motor untuk membunuh manusia.
Setiap hari ada 10 korban tewas di jalanan Jawa Timur. 7 di antaranya adalah pesepeda motor. Setiap hari! Sementara itu setiap hari Metropolitan Surabaya digerojok dengan 1.500 motor baru dan sekitar 150 mobil baru.
Setiap bulan sekitar 1 Ha lahan habis dilalap oleh mobil dan motor sekadar untuk menampung budak-budak energi ini di parkiran, garasi rumah, atau jalan-jalan perumahan.
Setiap mobil maupun motor , tak satupun buatan Indonesia, menuntut BBM untuk mencegahnya menjadi rongsokan canggih. Budak-budak energi ini sumber pencemaran dan akar ketidakadilan energi di negeri kepulauan seluas Eropa ini.
Karena 60 persen lebih penduduk tinggal di Jawa, bisa dibayangkan konsumsi BBM di Jawa untuk sekadar dibuang oleh para budak energi ini untuk lalu lalang merajai jalanan di kota-kota di Jawa.
Kemacetan kota-kota di Jawa sebuah keniscayaan yang tinggal menunggu waktu. Sementara itu ketimpangan konsumsi energi antara Jawa dan luar Jawa semakin menganga lebar.
Obsesi motor pada anak muda, hingga usia SMP yang belum cukup dewasa untuk punya Surat Izin Mengemudi (SIM) sudah mengerikan. Apalagi pembelian motor sangat dipermudah dengan utang.
Setiap pagi usai Subuh dan menjelang Magrib, di dermaga Kamal yang sepi di seberang Surabaya, kita bisa saksikan kebut-kebutan pemotor muda dengan suara yang memekakkan telinga. Juga di jalanan lain di Kenjeran dan di banyak tempat lainnya.
Penggunaan motor telah menyebabkan penurunan tingkat kesehatan warga muda karena penurunan aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan bersepeda. Bahkan di pelosok desa sekalipun. Seiring dengan itu juga peningkatan polusi udara.
Yang membunuh warga muda saat ini bukan infeksi virus semacam Covid-19 atau penyakit menular yang lain, tetapi penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung koroner, gagal ginjal dan kanker.
Semuanya lebih disebabkan oleh gaya hidup yang semakin tidak aktif secara fisik. Ditambah keranjingan gadget, warga muda semakin pasif secara fisik dan mental. Ini adalah gejala defisit imunitas nasional yang berbahaya.
Kohesivitas Menurun
Setelah kota-kota kita dirusak dan dilumpuhkan oleh mobil dan motor asing, kita juga melihat kohesivitas sosial kita makin berkurang. Baik motor maupun mobil adalah simbol mobilitas individual.
Makin besar cc mesin, pemiliknya makin merasa menjadi raja jalanan. Dipersepsi sebagai simbol modernitas kelas menengah, kehadiran kedua jenis budak energi itu semakin rakus merampas ruang publik, juga angkutan publik.
Angkutan publik di banyak kota dalam kondisi hidup segan mati tak mau. Bus atau trem umum sebenarnya bisa menjadi instrumen mengurangi kemacetan sekaligus perekat kehidupan masyarakat yang majemuk.
Bus sekolah yang bersih, teratur, dan nyaman bisa menjadi platform pendidikan kewarganegaraan bagi siswa-siswa dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial dan budaya. Saat ini, di parkiran sekolah dan kampus favorit, justru dipenuhi oleh mobil mewah dan motor. Kampus justru menjadi tempat dengan jejak karbon paling hitam.
Sikap presiden yang dengan sangat percaya diri mencoba motor RI1 di atas track Sirkuit Mandalika itu teladan buruk dari seorang pemimpin. Mungkin jika motor RI1 itu buatan anak-anak SMK Mataram, masih ada rasa bangga yang muncul. Seperti dulu saat mencoba mobil Esemka.
Perlu diingat bahwa yang kita butuhkan adalah mobilitas, bukan motor, apalagi mobil. Keduanya adalah budak energi. Jika lengah, kita bisa menjadi budak berikutnya.
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 17/11/2021
Editor Sugeng Purwanto