PWMU.CO – Muhammadiyah Harus Lebih Kaya Lagi. Hal itu terungakp saat angkatan muda Muhammadiyah (AMM) Piyungan, Yogyakarta, menggelar Kajian Resepsi Milad Muhammadiyah Ke-109 bertema “Mewujudkan Umat yang Berdikari dan Mandiri Ekonomi”, Senin (15/11/2021) malam.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi ekonomi dan kewirausahaan Dr H Anwar Abbas MM MAg hadir menjadi pemateri tunggal pada kegiatan itu mengapresiasi temanya. “Agak menggetarkan saya, karena sangat sesuai dengan apa yang saya cita-citakan,” ungkapnya.
Sejak menjabat Bendahara PP Muhammadiyah tahun 2010, Anwar Abbas menggemakan gerakan ekonomi di Muhammadiyah. Sebab, dia ingin Muhammadiyah menjadi organisasi kaya.
Pilar Penyanggah, Zona Nyaman
Anwar Abbas lantas menekankan dua pilar yang menyanggah perjuangan Muhammadiyah selama ini. Pertama, pilar dunia pendidikan. Kedua, pilar pelayanan sosial, seperti mendirikan klinik, rumah sakit, dan panti asuhan.
Pada dua pilar itulah dia menilai Muhammadiyah berkemajuan. “Bisa kita buktikan lewat jumlah amal usaha kita,” ujarnya.
Tapi, dalam bidang ekonomi dan bisnis, dia menilai Muhammadiyah masih jauh dari berkemajuan. Anwar Abbas menyatakan, “Total kekayaan kita sebagai organisasi mungkin kalah oleh kekayaan satu dua orang terkaya di negeri ini.”
Padahal, sebuah lembaga riset di Jerman menunjukkan jumlah anggota dan simpatisan Muhammadiyah minimal 65 juta jiwa. Kesimpulannya, Muhammadiyah sebenarnya organisasi besar dan harus diperhitungkan.
Meski orang luar mengagumi Muhammadiyah, lanjutnya, kita sebagai orang dalam tidak boleh terlena oleh pujian itu. Muhammadiyah, menurutnya, tidak bisa berhenti di zona nyaman dengan sekadar melihat jumlah sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakitnya. “Jangan sampai kita terninabobokan oleh comfort zone ini,” tuturnya.
Belum Berdikari
Sebagai organisasi, kata Anwar Abbas, cita-cita Muhammadiyah tidak hanya maju, tapi juga kuat di bidang ekonomi. Dari pengamatannya, Muhammadiyah belum menjadi organisasi berdikari.
“Karena kegiatan dan aktivitas kita di beberapa tempat masih sangat tergantung ke bantuan dari pemerintah dan masyarakat luas,” terang Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia periode 2020-2025 itu.
Dia meluruskan, bukannya itu tidak boleh, tapi yang diharapkan ke depan Muhammadiyah tidak memerlukan bantuan dari siapa pun. “Bisa berdikari. Maksudnya, sebagai organisasi tidak tergantung pada bantuan orang lain karena kaya,” jelasnya.
Anwar Abbas mengutip hadits riwayat Muslim, “Al yadul ulya khairun minal yadis suflaa.” Artinya, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Jadi, bukan Muhammadiyah tidak minta bantuan ke orang lain, justru Muhammadiyah membantu orang lain.
Bisa Diperhitungkan
Ada beberapa sumber yang patut Muhammadiyah perhitungkan. Pertama, dalam AD/ART Muhammadiyah, ada pasal yang menyatakan anggota wajib membayar iuran anggota. Kenyataannya, sampai sekarang Muhammadiyah belum pernah menerapkan iuran anggota secara sungguh-sungguh.
Dalam perhitungannya, misal anggota Muhammadiyah ada 10 juta, maka dalam setahun bisa mendapat 1,2 triliun dari iuran anggota. Karena ketentuan di organisasi, setiap anggota dibebani iuran 10 ribu per bulan. Maka, dalam setahun setiap anggota menanggung iuran anggota sebesar 120 ribu.
Kedua, dia mengingatkan Muhammadiyah punya banyak amal usaha. Dalam perhitungannya, “Kalau kita hitung, jumlah uang yang masuk setiap tahun mungkin sekitar 20 triliun. Seandainya kita buat kebijakan masing-masing amal usaha memberi kontribusi dari pendapatan kotornya 2,5 persen. Berarti 2,5 persen dari 20 triliun ya 500 miliar!”
Ketiga, efisiensi. Dari dana 20 triliun itu, kata dia paling tidak separuhnya habis untuk belanja. Dia berandai, “Seandainya kita terapkan teori membeli banyak lebih murah dari membeli sedikit, diskon membeli banyak lebih tinggi dari diskon membeli sedikit.”
Selisih perentase diskon itu bisa meningkatkan efisiensi. Dia menilai banyak dana yang justru dinikmati supplier dan kontraktor dari luar. “Seandainya kita mau bersatu dan mau membawa ilmu ke dalam sistem pengelolaan organisasi, dari efisiensi itu kita bisa mengantongi uang bersih sekitar 2 triliun per tahun!” ungkapnya.
Manajemen Kasus
Keempat, manajemen kasus. Kalau punya uang banyak tapi tidak pandai mengelola dan menegosiasi dengan pihak perbankan, percuma. Anwar Abbas menyarankan, ketika menyimpan uang di bank, maka perlu menaruh di tiga tempat: giro, tabungan, dan deposito.
Dia menyadari Muhammadiyah sudah bank-minded. “Sekarang sudah jarang Muhammadiyah yang menaruh uangnya di bawah bantal, umumnya menaruh uangnya di bank,” terangnya.
Kemudian Anwar memaparkan, di giro, bisa mendapat keuntungan equivalent rate sekitar 0,5 persen, paling tinggi 1 persen. Di tabungan, dapat sekitar 2 persen. Sedangkan di deposito, bisa dapat 5 persen.
“Masing-masing silakan mengelola keuangannya, tapi itu kita konsolidasikan!” imbaunya. “Kita koordinasikan di tingkat pusat, dengan menggunakan IT kita tahu berapa jumlah uang Muhammadiyah yang beredar di DIY,” imbuhnya.
Itulah mengapa ketika dia menjadi bendahara PP Muhammadiyah, dia mendesak agar lembaga keuangan yang berhubungan dengan Muhammadiyah dikurangi.
Muhammadiyah Cetak Sekolah Bisnis
Anwar Abbas mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, “Kalau esok hari kiamat akan tiba, di tanganmu ada benih, maka tanamlah meskipun engkau tidak menikmatinya tapi engkau telah berbuat baik!”
Meski dia mengakui entrepreneurship was born, berbisnis itu pembawaan, tapi menurutnya juga bisa dicetak. “Sebenarnya orangtuanya tidak pengusaha, tapi karena tekanan hidup terpaksa dia berusaha mencari duit, sehingga akhirnya dia kaya,” ujarnya.
Tapi ada pula teori konvergensi. Sebenarnya sudah ada bakat berbisnis, tapi karena tidak dikembangkan alias lingkungan tak mendukung, maka perlu sekolah bisnis. Dia mengimbau, “Saya ingin di sekolah Muhammadiyah setiap pekan ada bussiness day!”
Dalam bayangan dia, yang berdagang di kantin nantinya anak-anak didik sendiri. Anwar Abbas berhitung, misal ada alokasi waktu dua atau tiga jam seminggu siswa berjualan. Berarti setahun siswa itu punya pengalaman sekitar 50 hari berbisnis.
Selanjutnya, tamat SD dia punya pengalaman 300 hari berbisnis. Tamat SMA dia punya pengalaman 500 hari berbisnis. “Tamat perguruan tinggi dia punya pengalaman 800 hari berbisnis, itu kan lebih dari dua tahun! Maka bukan lagi employee mentality, itu sudah entrepreneurship mentality, atau minimal intrapreneurship mentality!” tegasnya.
Mandiri, Kekuatan Besar
Anwar Abbas menerangkan, saat orang punya mental entrepreneurship, dia akan membuat usaha sendiri. Kalau intrapreneurship, dia tidak membuat usaha sendiri, tapi bisa mandiri. “Kalau datang ke perusahaan begini, saya melamar ke perusahaan bapak, tapi saya minta gaji 200 juta sebulan,” ungkapnya.
Karena orang itu punya kemandirian, dia bisa menceritakan kontribusi yang mampu dia berikan untuk perusahaan. Itulah yang dia harapkan. Tapi di Muhammadiyah, kata Anwar Abbas budayanya belum mendukung. “Karena pimpinan-pimpinan di Muhammadiyah employee mentality,” ungkap ahli ekonomi Islam Indonesia itu.
Dia berharap, setelah muktamar nanti ada pengusaha-pengusaha yang masuk ke Muhammadiyah. Mulai tingkat pusat sampai ranting. “Mereka yang terbiasa dengan dunia bisnis kita minta mengurus ekonomi dan bisnis,” tuturnya.
Kalau ini diakumulasikan mulai ranting sampai pusat, menurutnya akan menjadi kekuatan besar. Lalu Anwar Abbas menegaskan, “Saya tidak malu akan ditertawakan orang, tapi saya percaya apa yang ditertawakan orang hari ini Insyaallah itu akan menjadi kenyataan!” Seperti KH Ahmad Dahlan yang dulu banyak diledek, tapi kini justru banyak dipuji.
Dia menutup dengan ar-Ra’d ayat 11, “Innallaha la yughayyiru maa biqaumin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim.” Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Begitu juga dengan Muhammadiyah. “Tidak akan berubah nasibnya, kecuali individu-individu mudanya hari ini berubah! Memiliki visi dan misi yang jelas, dan sunnatullah yang dia tempuh salah satunya bidang usaha,” jelasnya.
Dia menambahkan, “Karena menjadi kaya itu tidak bisa jadi pegawai negeri. Pegawai negeri yang kaya pasti korupsi!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni