Bahasa Hukum Permendikbud yang Kontroversial oleh Sirikit Syah, pengamat media, dosen ilmu komunikasi.
PWMU.CO– Kali ini saya ingin menyoroti bahasa yang digunakan di ranah hukum. Kasus terbaru adalah Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Peraturan ini menimbulkan kontroversi dan perdebatan hingga saat ini. Banyak yang kontra, ada pula yang pro. Masalahnya pada frasa ”persetujuan korban” (consent). Mereka yang anti peraturan ini meneriakkan, ”Berarti kalau korban setuju, boleh ada praktik dan kekerasan seksual di kampus?”
Pihak yang pro peraturan Permendikbud itu berujar membalas: ”Yang menolak Permendikbud tentang PPKS berarti mendukung praktik dan kekerasan seksual di kampus? Kan gak mau diatur?”
Sebagai pembelajar ilmu bahasa dan pengamat praktik kebahasaan, termasuk bahasa media dan bahasa hukum, saya menganalisis bahwa persoalannya pada aturan yang terlalu rinci (detail). Mari kita perhatikan kalimat di pasal 5 ayat 2, butir b, sebagai contoh. Ini isinya
(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban.
Kalimat tersebut sangat bisa ditafsirkan bahwa ”bila korban setuju mempertontonkan alat kelamin di lingkungan perguruan tinggi boleh.”
Para pendukung PPKS tentu mendasarkan dukungannya pada kebebasan. Yang diatur adalah yang ”kekerasan/pemaksaan, tanpa konsensus”, bukan ”tindakan seksual”nya.
Tindakan seksual (dengan kekerasan atau dengan kelembutan), bukan urusan kampus. Namun, mesti diingat, masih ada batasan dalam masyarakat Indonesia, yaitu norma kesusilaan dan agama.
Persetujuan korban atas tindakan seksual tidak otomatis berarti pembenaran terhadap tindakan tersebut. Bagaimana kalau pelaku-korban masih di bawah umur, atau itu di luar hubungan pernikahan, atau dilakukan di depan publik (kawan-kawannya, divideokan, dll)?
Selain norma susila dan agama, ada hukum yang mengatur (UU Perlindungan Anak, UU Pornografi, dll). Bila ”tindakan kekerasan seksual” sudah diatur di UU atau peraturan lain, mengapa Mendikbud menciptakan aturan yang berimpitan dengannya, sehingga menuai pro-kontra?
Pakar sosiologi hukum Satjipto Rahardjo pernah mengatakan, the law is the art of interpretation. Hukum bisa ditafsirkan. Apalagi bila bahasanya ambigu atau bahkan terlalu rinci. Semakin rinci, semakin mudah dibelokkan. Itulah yang terjadi dalam bahasa hukum Permendikbud.
Saya teringat tahun 2003-2004, ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merumuskan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) sebagai kepanjangan UU Penyiaran tahun 2002.
Ada ayat-ayat dalam pasal yang mengatur adegan-adegan sinetron di televisi yang melarang: adegan ciuman bibir dengan bibir, batas kepantasan bikini (busana pantai), dll.
Saya mempersoalkan larangan ”ciuman bibir dengan bibir”. Apakah kalau mencium leher boleh? Juga bila batas bikini ”sekian cm di bawah pusar”, maka ”kurang atau lebih 1 cm” boleh?
Saya bukan ahli hukum, saya hanya bisa menyarankan agar dalam merumuskan peraturan yang mengikat masyarakat luas, para ahli hukum berkonsultasi dengan ahli bahasa untuk mencegah misinterpretasi.
Sebagai pembelajar bahasa saya justru ingin menyarankan supaya pasal mengenai hoax/kabarbohong, hate speech/ujarankebencian, provokasi/hasutan pada UU ITE dideskripsikan secara akurat.
Kabar pahit (tidak menyenangkan) bukanlah kabar bohong. Kritik juga bukan berarti ekspresi kebencian, dan anjuran belum tentu hasutan.
Surabaya, 19 November 2021
Editor Sugeng Purwanto