PWMU.CO – Pahami Karakteristik Autisme agar Tak Terjadi Miskonsepsi Ini. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Muryantinah Mulyo Handayani MPsych meluruskan berbagai miskonsepsi atau kesalahpahaman tentang autisme pada Pelatihan Peningkatan Kompetensi Pendidik, Pengembangan Program Kompensatoris bagi Anak Autisme dan Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara (PDSRW).
Antin—panggilan akrabnya—juga mengungkap salah satu pendekatan untuk mengoptimalkan pembelajaran siswa autistik. Sebanyak 155 guru SD/MI dan SMP/MTs se-Kabupaten Gresik mengikuti pelatihan secara langsung di Aula Ainul Yaqin Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Gresik, Sabtu (13/11/2021).
Setiap 20 November, diperingati Hari Anak Sedunia atau Universal Children’s Day. Kepada PWMU.CO, Antin membagikan dua harapannya, Selasa (23/11/2021). Pertama, dia berharap orangtua, guru, terapis, psikolog, dokter dan profesional lain dapat menerima kondisi anak autistik yang berbeda, terutama dalam hal berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan menyelesaikan masalah.
“Keunikan dan kekuatan individu diidentifikasi dan dikembangkan kemampuan, bakat dan ketrampilannya dan kelak dewasa semaksimal mungkin bisa menjadi individu mandiri,” imbuhnya.
Gangguan Spektrum Autisme
Antin menerangkan autisme sebagai kondisi neurodevelopmental (perkembangan neuron) di otak yang kompleks. “Ini ditandai hambatan dalam komunikasi sosial, minat terbatas, dan perilaku berulang,” ujarnya.
Dia menekankan, neuron pada otak individu autisme terhubung dengan cara yang berbeda sehingga cara kerjanya berbeda. “Anak autistik memiliki cara yang berbeda dalam mempersepsi, berpikir, belajar, dan berelasi sosial. Bukan berarti otaknya cacat atau rusak,” terangnya.
Antin menjelaskan, autisme disebut gangguan spektrum karena sejauh mana seseorang dipengaruhi autisme sangat beragam. Setiap individu dengan autisme adalah individu yang unik. “Kalau bapak ibu mengenal 1 anak autisme, berarti bapak ibu mengenal 1 anak dengan autisme!” tegasnya.
Dalam berinteraksi sosial, ada anak yang sangat penyendiri hingga cukup pasif. Minat terbatas dan perilaku berulangnya juga ada yang ringan, tapi ada pula yang sangat menonjol. Proses sensorisnya ada yang hiposensitif (mencari sensasi melalui aktivitas stimulasi diri) hingga hipersensitif (menghindari sensasi yang dirasa tidak menyenangkan).
Contoh, pada anak yang hipersensitif terhadap preprioseptik (bagaimana anak menyadari tubuhnya nyaman saat mendapat tekanan) anak akan menghindari sentuhan. “Jika anak hiposensitif terhadap gerakan, maka dia butuh banyak bergerak, jadi muter-muter kelas,” jelasnya.
Karakteristik
Anak autistik kesulitan menjalankan fungsi eksekutif (merencanakan, memulai, dan mengelola perilaku). Antin mencontohkan, “Waktu mau menyalakan keran, dia bingung. Muter keran dulu atau ambil sabun dulu? Atau ketika berbicara dan di tengah-tengah ada interupsi, dia bingung melanjutkannya.”
Selain itu, berdasarkan theory of mind, anak autistik sulit memahami apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. “Mereka tidak tahu kapan orang lain bisa diajak ngomong, apakah itu waktu yang tepat untuk ngomong,” ungkap Antin.
Anak autistik juga sulit mengintegrasikan detail menjadi satu kesatuan makna (koherensi pusat). Misal, ketika masuk ruang yang besar, melihat ada jendela dan kursi-kursi, kita bisa mudah menyimpulkan sedang memasuki aula. Anak autistik sulit memahami seperti itu.
Menjalin kontak mata saat berkomunikasi menjadi tantangan bagi individu autistik. Biasanya hal ini membuat orang dewasa di sekitarnya memaksa dia mau menjalin kontak mata demi kesopanan.
Antin mengimbau, “Jangan dipaksa (menjalin kontak mata), yang terpenting anak bisa menangkap informasi yang bapak ibu sampaikan.”
Anak autistik, lanjutnya, membutuhkan waktu untuk memproses atau mencerna informasi, sekalipun untuk pertanyaan sederhana. “Sudah makan? Kalau masih diam, tanya lagi, sudah makan? Masih diam, tanyakan lagi!”
Di sini, Antin menyarankan agar memberi waktu lima detik kepada individu autistik untuk memproses pertanyaan. Selain itu, bisa dengan mengucapkan pertanyaan yang sama sebanyak lima kali.
Anak autistik juga punya kekuatan flashback memory, di mana seperti sedang dihadapkan lagi dengan kejadian di masa lalu. “Kejadian tiga tahun lalu rasanya kayak tiga hari yang lalu,” jelasnya.
Maka, Antin mengimbau agar hati-hati ketika berinteraksi dengan anak autistik. Jika membuatnya tidak nyaman, bisa menjadi kejadian traumatis dalam hidupnya.
Miskonsepsi
Antin kemudian meluruskan berbagai miskonsepsi tentang autisme. Salah satunya, autisme dikira kondisi hanya pada anak-anak yang dapat sembuh atau hilang. Padahal, autisme terjadi sepanjang hayat.
“Seseorang tidak bisa sembuh dari autisme. Sampai saat ini tidak ada vitamin atau obat yang bisa menyembuhkan!” ungkap Antin.
Ada pula anggapan autisme disebabkan pola asuh yang buruk. Ibu bersikap ‘dingin’ dan gagal membangun relasi dengan anak. “Istilahnya refrigerator mother theory, ibu sedingin kulkas, tapi ini dipatahkan banyak penelitian berikutnya!” imbuh perempuan kelahiran Ngawi, 9 Agustus 1972 itu.
Bahkan, kata Antin, autisme awalnya dikira skizofrenia atau gangguan jiwa. Di samping itu, ada anggapan mereka lebih suka menyendiri dan tidak ingin berteman. Kenyataannya, individu autistik menarik diri dari lingkungannya karena bingung cara menghadapi situasi sosial.
Selain itu, ada anggapan semua individu autistik tidak memiliki gangguan lainnya. Padahal, ada pula yang disertai gangguan lain. Kemudian, ada anggapan semua individu autistik memiliki disabilitas intelektual. Antin membantah, karena ada pula yang tingkat kecerdasannya baik.
Pendekatan TEACCH
Selanjutnya, Antin menerangkan pendekatan treatment and education of autistic and related communication handicapped children (TEACCH) yang kini banyak diterapkan.
Pendekatan pengajaran terstruktur itu digunakan karena lingkungan harus beradaptasi untuk anak dengan autisme. “Bukan anak yang beradaptasi dengan lingkungan!” tegasnya.
Strategi itu, lanjutnya, didesain mengakomodasi kelebihan dan kelemahan anak dan mengurangi stresor baginya. Yang terpenting, kata Antin, mengajari anak apa yang boleh dilakukan, bukan sekadar melarang yang tidak boleh dilakukan.
Antin menegaskan, pendekatan ini tidak menghilangkan kekurangan anak autistik, tapi mengoptimalkan apa yang menjadi kelebihannya. “Guru atau terapis mencari strategi berdasarkan pemahaman terhadap karakteristik anak!” imbuhnya.
Dia menekankan dua kunci, “Pertama, ciptakan lingkungan yang memudahkan anak memahami lingkungannya. Kedua, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan fungsional anak autistik.”
Fokus Kekuatan dan Minat Anak
Wakil Kepala Bidang Kurikulum Sekolah Luar Biasa River Kids Malang Iin Indrawati SPsi yang juga menjadi narasumber dalam pelatihan itu menambahkan, dalam TEACCH perlu fokus pada kekuatan dan minat anak.
Dia memaparkan, anak autistik punya kekuatan memproses informasi secara visual, detail, belajar dengan menghafal, kemampuan visual-spasialnya (daya bayang ruang) kuat, dan suka rutinitas (terprediksi).
Selain itu, perlu mengakomodasi kelemahan anak autistik. Seperti, sulit memproses informasi secara auditori (mendengar); mengurutkan, menggabungkan, menghubungkan dan memaknai; mengerjakan tugas yang membutuhkan kepekaan terhadap orang lain, berpikir imajinasi, dan melihat secara utuh dalam beragam situasi.
Anak autistik juga sulit berkomunikasi yang abstrak atau kompleks. “Jangan menggunakan istilah yang abstrak. Anak tidak memahami bahasa yang abstrak,” tambahnya.
Iin—panggilan akrabnya—menegaskan, ada dua alternatif cara kita merespon anak autistik yang mencari atau menghindari stimulasi sensorik secara tidak tepat, bahkan membahayakan. Pertama, subtitusi (ganti) stimulasi sensoriknya. Kedua, hentikan jika sudah tidak sesuai norma yang berlaku.
Iin juga mengingatkan agar tidak menstimulasi secara berlebihan. “Lakukan asesmen perkembangan untuk mengetahui tingkat kemampuan anak saat ini. Penuhi dulu milestonenya!” imbaunya.
Dia mencontohkan, “Lebih dulu mana, memegang pensil atau menulis? Pasti memegang pensil dulu!” Artinya, perlu membantu anak memenuhi tahap perkembangan dasarnya dulu. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni