PWMU.CO – Dalam sejarah Muhammadiyah Surabaya, terdapat satu peristiwa yang penting. Enam tahun setelah didirikan pada 1921 di ibukota Jawa Timur ini, Muhammadiyah yang diketuai oleh KH Mas Mansur, mengalami cobaan dan krisis organisasi yang cukup berat. Keberadaan beberapa ranting tidak membawa kemajuan bagi organisasi, tapi sebaliknya membawa kemunduran.
Untuk mengukuhkan komitmen dan solidaritas organisasi, KH Mas Mansur bersama kawan seperjuangan membentuk “Wali Rongpuluh”. Yaitu 20 wali (bapak) atau Pamong Muhammadiyah Surabaya, yang rata-rata satu kampung diwakili satu orang. Dalam catatan S. Edy (Suka Duka Muhammadijah Tjabang Surabaja: 1952), peristiwa itu terjadi pada Ahad dinihari pukul 01.00 wib, tanggal 1 Muharram 1346, bertepatan dengan 1 Juli 1927. Tepat pada tahun baru hijriyah.
Komitmen ber-Muhammadiyah para tokoh Wali Rongpuluh ini diwujudkan dalam semacam “bai’at” untuk menjaga Muhammadiyah. Selain Mas Mansur sendiri, ke-19 Wali lainnya adalah Wisatmo, Kiai Utsman (Kaliasin), Wondowidjojo (saudara Menteri Dalam Negeri 1947), Tjiptoredjo (Genteng), Mas Gentong, Hardjodipuro, M. Saleh Ibrahim, Mas Idris, Soemoredjo, Abd. Barry, HA. Rachman Utsman, M. Saleh Tjilik, HM. Orip Temenggungan, Jaminah (Genteng), Sariman, Andjarsunjoto, M. Badjuri, Soeroatmodjo, dan Martodjojo.
Dalam catatan almarhum Nurhasan Zain, Sekretaris PWM Jatim 1972-1985, pondasi yang dibangun oleh Wali Rungpuluh ini terletak pada silaturahim untuk menjaga ghirah berorganisasi. Untuk menggerakkan Persyarikatan, ke-20 orang itu secara simultan memerankan diri sebagai penyelenggara kegiatan tabligh di lingkungan masing-masing.
“Karena media tabligh meningkat, secara otomatis jalinan silaturahim akan tercipta dengan sendirinya. Derap organisasi akan semakin semarak,” kata Nurhasan Zain pada tahun 2010 silam.
Solidaritas Wali Rongpuluh ini membuat perjalanan organisasi Muhammadiyah Cabang Surabaya cukup lancar. Termasuk misalnya membubarkan sebuah ranting Muhammadiyah, –dulu namanya grup atau gerombolan– yang dinilai tidak membawa kebaikan organisasi, bahkan membuat kemunduran.
Seperti dicatat oleh Majalah ”Soeara Moehammadijah” No 24 Tahun XI Edisi 14 Mei 1930, Muhammadiyah Surabaya membubarkan 6 ranting. “Leden vergadering (rapat anggota) tanggal 5 malam 6 April 1930, telah memutuskan: Grup-grup Muhammadiyah, yang ada di dalam kota Surabaya, yaitu Genteng, Praban, Penelih, Pandean, Ampel, dan Kaliasin: dibubarkan.”
“Oleh sebab telah nyata sekali yang adanya grup-grup tahadi membawa kemundurannya Muhammadiyah cabang Surabaya,” begitu alasan pembubaran ini yang dicatat dalam halaman 528 Majalah Suara Muhammadiyah itu.
Selanjutnya halaman 2