Dominasi China dan Kebangkitan Melayu oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Skenario PKI pada 1965 gagal. Namun berhasil menyusup di Reformasi 1998. Melalui serangkaian amandemen UUD 45 kini kekuatan sekuler kiri radikal sudah bisa dirasakan di semua sektor kehidupan.
Dengan memanfaatkan kebangkitan China, pengaruh itu makin menghunjam ke dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara selama paling tidak lima tahun terakhir ini.
Kebangkitan China ini memanfaatkan kemunduran kepemimpinan AS/Barat di berbagai kawasan termasuk Asia Timur dan Tenggara. A more inward looking USA di bawah Trump telah dimanfaatkan oleh China yang kini makin menunjukkan ambisi imperialnya.
Program ambisius One Belt One Road dan konflik yang kini memanas di Laut China Selatan membuktikan bahwa China semakin terang-terangan menunjukkan ambisinya untuk melawan dominasi AS di seluruh dunia.
Penarikan mundur tentara AS di Afghanistan adalah bukti paling penting bahwa ancaman atas kepentingan AS bukan lagi Islam dan radikal muslim. Narasi islamofobia yang mengemuka sejak serangan atas WTC 2001 kini akan dihentikan oleh DPR AS.
Tinggal menunggu persetujuan Senat, maka program deradikalisasi akan segera dihentikan di seluruh dunia. Perkembangan mutakhir ini menunjukkan pergeseran kebijakan luar negeri AS yang sangat penting.
Ancaman paling mengganggu kepentingan dominasi AS dan Barat kini adalah China di bawah Xi Jinping. AS bahkan telah memaksa Australia untuk membatalkan kesepakatannya dengan Prancis untuk membangun kapal selam konvensional karena alutsista ini dinilai tidak memadai untuk mengimbangi kekuatan laut China saat ini.
Kini Australia harus membeli kapal selam nuklir buatan Inggris dengan dukungan AS. AS adalah satu-satunya negara Barat yang pernah menggunakan bom nuklir dalam perang, yaitu pada PD II untuk membom Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 dan mengalahkan Jepang. Mungkin AS tidak akan segan untuk mengulanginya kembali.
Pemerintah RI saat ini makin jelas dekat dengan China sambil memanfaatkan narasi islamofobia yang disemburkan AS hampir selama 20 tahun terakhir ini. Jika skenario AS telah berhasil menggagalkan kudeta komunis di Indonesia pada 1965, skenario ini mungkin akan digelar kembali oleh AS dan sekutunya.
Kali ini AS akan mencari faksi tentara dan Islam untuk bermitra dalam rangka mengimbangi pengaruh dominan China di Asia Tenggara. Kelompok-kelompok Islam kini perlu mewaspadai agar mereka tidak diperalat oleh kepentingan AS.
Kelompok-kelompok ini perlu mengartikulasikan kepentingan Islam dengan lebih asertif dan menunjukkan bahwa Indonesia Islam adalah mitra yang bisa dipercaya untuk mengurangi dominasi China sekaligus membangun Asia Tenggara yang lebih stabil, aman, adil dan makmur.
Untuk itu, muslim Indonesia perlu membangun kepemimpinan Melayu muslim se Asia Tenggara. Sebuah Kongres Melayu Muslim se-Asia Tenggara dapat diselenggarakan dalam waktu dekat ini. Ormas-ormas Islam perlu sekaligus mempersatukan diri agar kepemimpinan Islam Indonesia mampu mewarnai kepemimpinan baru di ASEAN yang perlu diperhitungkan baik oleh AS maupun China.
Ini bukan politik identitas yang eksklusif dan intoleran, tapi adalah rebranding Melayu muslim yang membedakan diri dengan China komunis.
Rosyid College of Arts, Surabaya, 28/12/2021
Editor Sugeng Purwanto