Standardisasi yang Menyesatkan oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Mencermati artikel Prof Yosaphat Tetuko Sri Sumantyo, guru besar UNS sekaligus Universitas Chiba Jepang berjudul Menakar Guru Besar Kita di www.kompas.id hari ini, saya akan memberi beberapa catatan.
Pertama, gambaran kita tentang apapun, termasuk soal guru besar, perlu dipahami secara lebih konteks spasial, temporal dan personal agar isu-isu itu bisa kita pahami relevansinya agar bermakna.
Ini penting karena manusia adalah subjek, bukan sekadar robot yang remotely controlled. Konteks dan relevansi itu kini makin dianggap tidak penting karena internet dan digitalisasi bersamaan dengan gelombang globalisasi.
Salah satu instrumen penting globalisasi adalah standardisasi yang ditetapkan sering secara sepihak oleh pihak dengan posisi tawar yang lebih tinggi. Lalu mantra mutu dipropagandakan sebagai bungkus bagi compliant to the standard.
Sebagai bagian dari perang asimetri dalam rangka revolusi industri, globalisasi adalah bentuk penjajahan baru di mana derajat bangsa terjajah dilestarikan melalui mantra mutu. Bangsa terjajah akan dipaksa sebagai sumber bahan baku murah dan pasar.
Jika pun mau jadi produsen, harus memenuhi standar yang konon bersifat sukarela. Padahal standardisasi dan mutu adalah instrumen intimidasi. Bagaikan sihir, disebut tidak bermutu adalah semacam hinaan yang amat memalukan.
Kedua, jika standar sebagai kriteria minimal pencapaian kinerja, penggunaan standar bagi jasa menimbulkan problem serius. Makin tinggi intellectual content-nya makin problematik.
Penggunaan standar untuk produksi sepatu, barang elektronik dan mobil, bisa diterima. No problem. Untuk jasa, seperti pendidikan dan penelitian? Apakah bisnis utama perguruan tinggi? Mencetak lulusan atau melahirkan manusia terdidik?
Apa yang dimaksud dengan terdidik? Apakah mereka yang cukup terampil menjalankan mesin-mesin paling sederhana hingga paling canggih, sekaligus cukup dungu untuk taat bekerja bagi kepentingan pemilik modal asing? Ataukah mereka yang merdeka?
Ketiga, jasa jelas beda dengan barang. Produksi jasa mensyaratkan proses prosumsi di mana produksi dan konsumsi terjadi sekaligus.
Lihatlah kampus-kampus kita selama pandemi ini. Tanpa kehadiran mahasiswa di kampus, bak virtual sekalipun, apakah terjadi produk jasa pendidikan tinggi? Cukup satu mahasiswa hadir secara virtual dalam kelas daring agar seorang guru besar tidak disebut satpam dan kampusnya tidak disebut gudang atau museum.
Jangan salah, publikasi tentu penting sebagai bagian dari akuntabilitas seorang staf akademik yang senantiasa terlibat dalam proses-proses innovation and knowledge creation.
Kitapun tahu bahwa proses-proses ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kendali universitas. Perombakan kelembagaan penelitian dan pendidikan tinggi selama dua tahun terakhir masih menyisakan persoalan.
Jika proses-proses penelitian terganggu, apa mungkin menghasilkan publikasi yang baik? Juga, publikasi untuk apa dan siapa? Ekosistem riset dan pendidikan tinggi berbeda-beda untuk kemudian sahih dibanding-bandingkan hasilnya.
Keempat, problem utama pemaksaan standar internasional pada jasa adalah bahwa Chiba, Udine, Kyoto, Cambridge, dan Boston serta Malang memiliki setting sosial yang unik bagi setiap mahasiswa sebagai prosumen.
Mengatakan bahwa guru besar terbaik pasti yang mengajar di Oxford atau MIT, atau ITS adalah menyesatkan jika bukan refleksi kesombongan. Keangkuhan inilah yang bersembunyi di balik semua standar internasional itu.
Saya khawatir kita telah terpapar virus deprived emotional dependance yang bingung jika tidak di-ranking lalu men-jumawa jika di papan atas, atau mempecundang jika di bawah.(*)
Rosyid College of Arts Gunung Anyar,18/1/2022
Editor Sugeng Purwanto