Pemimpin Politik Islam Tak Laku di Pemilu oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Ini hanya pertanyaan klise maka jawabannya pun juga bukan hasil survei atau riset mendalam. Kegagalan para pemimpin politik umat Islam yang baik, jujur, kredibel, berintergritas justru sering tidak laku atau tidak terpilih dalam konstelasi praktik demokrasi.
Saya hanya akan memberi beberapa ilustrasi dan komparasi seadanya sebagai ikhtiar membangun paradigma atau setidaknya hipotesis atas pertanyaan ’kenapa kerap gagal’ menjadi orang nomor satu di negeri yang mayoritas berpenduduk Islam.
Greg Barton, William Liddle, dan Ben Anderson cukup paham dan mengerti kenapa demikian?
Pertama, kerap terlena dengan stigma bahwa Indonesia mayoritas muslim. Kemudian menderet jumlah, seakan bisa dipastikan bahwa jumlah besar itu bakal mendukung dan memilih. Ini sangat menipu, padahal sejatinya Islam di Indonesia beragam, beraneka dan banyak macam .
Stigma bahwa muslim adalah mayoritas adalah palsu alias prank. Tak layak dijadikan dasar rujukan sebagai modal politik.
Kedua, gagal menjadi inklusif. Indonesia adalah negara dengan beragam kultur, budaya, adat, manhaj dan puluhan ideologi. Dengan pemimpin dan pendukung eksklusif, jelas bakal tertolak, karena tidak adaptif dan berlawanan dengan alam pikiran.
Ini problem besar, realitasnya justru pemimpin Islam sering mengedepankan identitas untuk meraih peneguhan politiknya. Mungkin solid di dalam, tapi tak laku di luaran. Karena identitas ini, pemimpin Islam makin mengecil, keras, fanatik, meski solid. Jumlah dukungan tak cukup bisa menguasai. Jangankan bertarung di luar, sesama Islam saja saling memangsa.
Ketiga, keterbatasan akses. Pemimpin politik umat Islam hanya konsen ngurusi diri sendiri, tak ada waktu ngurus yang lain. Konflik internal memang cukup merepotkan, sebab itu banyak partai-partai Islam terpecah belah dan cerai berai. Seakan al-Islam tak cukup bisa menyatukan dan sungguh disayangkan.
Keempat, gagal jadi negarawan. Para pemimpin politik Islam hanya menjadi pemimpin lokal. Tidak ada yang menjadi negarawan. Ini juga tradisi buruk ketika ada pemimpin politik umat Islam yang mencoba inklusif, diterima semua kalangan yang beraneka, justru ditahdzir bukan kita. Bukan pemimpin Islam. Kemudian dicap liberal, sekuler, nasionalis bahkan komunis.
Kelima, mungkin bisa menyalahkan sistem. Sistem demokrasi one man one vote tidak cocok dengan model politik Islam yang mengedepankan musyawarah, seperti yang ditulis Mietzner dalam Money, Power and Idelogy.
Berbanding terbalik dengan pemimpin harus dipilih lewat musyawarah agung berdasar persyaratan yang sudah ditetapkan kitabullah dan sunah sahihah.
Keenam, memasang harga tinggi untuk sebuah persyaratan pemimpin. Pemimpin Islam adalah yang suci, yang tidak tersentuh oleh barang najis, yang selalu benar tidak boleh alpa yang tinggal di istana gading, dan tidak bertemu dengan orang kafir, munafik, musyrik, tidak merokok dan tidak suka musik.
Ketujuh, kegagalan itu karena tradisi pikiran jumud dan eksklusif. Cara pandang ini yang membuat seakan umat Islam gagal, tidak berdaya, kalah dst. Padahal tidak demikian. Banyak pemimpin Islam yang lahir dari rahim Islam, tapi tidak diakui: karena bukan kita, bukan kelompok kita, bukan partai kita, bukan manhaj kita, maka mereka bukan kita.
Banyak prestasi, banyak keberhasilan yang diraih, tapi karena tidak sesuai dengan kehendak, tidak sepadan dengan ekspektasi yang diinginkan, kemudian dianggap gagal. Banyak pemimpin Islam tapi bukan pemimpin kita. Jadi yang gagal itu bukan Islam tapi kita. Itulah kekalahan kita yang sesungguhhya. Wallahu taala a’lm. (*)
Editor Sugeng Purwanto