Politik Santri di Ibu Kota Negara oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Keberanian NU bikin kantor di ibu kota negara baru saya pikir sangat menarik sekaligus menabalkan diri sebagai legitimasi atas kekuasaan yang sesungguhnya. Bahwa NU ada bersama rezim bukan sebaliknya dan cara brilian untuk tetap merawat jagat dan peradaban tetap harmoni.
Ini momen cerdas. Ini gagasan besar dan ijtihad adi luhung untuk melegitimasi kekuasaan yang sah bukan deligitimasi. NU punya kewenangan otoritatif untuk menentukan sikapnya sendiri. Saya sangat menghormatinya.
Sebagai kekuatan besar dengan banyak pengikut, sikap kooperatif dengan banyak pertimbangan adalah pilihan bijak. Prioritasnya adalah untuk maslahat jamaah, maslahat umat, maslahat bashariyah, wabilkhusus umat Islam keseluruhan tentu saja.
Ini penting dijadikan sandaran teologis dan etis, agar perjalanan ke depan makin mantap dan ringan karena banyak support dari berbagai elemen, termasuk kekuasaan politik adalah niscaya sebagai rukun berjamaah dan berserikat. Saya bilang nonsens berjuang tanpa dukungan politik kekuasaan.
Sungguh berat jika perjuangan berlawanan arah dengan kekuasaan, karena harus kerja dobel. Padanan ini hanya hendak saya kabarkan betapa sebuah organisasi besar memang harus demikian. Berbeda dengan ormas yang kecil pengikut tanpa amal usaha, yang tak punya beban terhadap umat. Realitasnya, ormas oposan selalu kecil tak pernah besar?
Tradisi politik santri memang adaptif, fleksibel, kenyal dan futuristik dengan tujuan banyak maslahat. Model dakwah walisongo tetap dirawat utuh. Bukankah rezim Majapahit bertekuk lutut dipindah ke Demak tanpa perlawanan? Ini juga sukses politik besar sepanjang sejarah perjalanan Islam di Indonesia.
Hipotesisnya adalah ketika arah politik sehaluan dengan perjuangan maka kerja akan terasa mudah dan ringan tidak banyak energi keluar dengan hasil maksimal. Sebaliknya jika arah politik kekuasaan berlawanan arah dengan garis perjuangan, kerja akan terasa makin berat butuh banyak energi dan konflik di sana-sini.
Tapi ini hanya soal pilihan. Bukankah baginda Nabi saw pernah bersabda bahwa makin beratnya ujian akan mempertebal pahala? Jadi memang tak mengapa bila ada yang memilih jalan berat dan terjal untuk masuk surga, dengan harapan pahala besar. Meski minum air putih dengan tangan kanan baca basmalah sambil duduk bisa mengantarkan masuk surga. Jadi ini memang pure soal taste atau cita rasa dalam berislam.
Dibilang bahwa untuk jadi NU memang sangat mudah, tidak banyak persyaratan apalagi tuntutan. Sebab butuh banyak suplemen untuk bisa merawat jamaah sebesar itu. Perekat ideologi yang kuat, sistem organisasi yang lentur dan pandangan futuristik yang efisien, dan NU punya semua itu.
Apakah dengan begitu lantas NU tidak menjadi militan? Siapa bilang. Justru NU adalah yang paling militan, paling ulet, paling tekun, tapi fleksibel menjaga tradisi santri. Pindah kantor di ibu kota negara yang baru adalah ‘garansi kesetiaan pada negeri’ itu yang hendak dikatakan para santri kepada penguasa. Siapapun itu.
Selamat Harlah NU: merawat jagat membangun peradaban. (*)
Editor Sugeng Purwanto