Kembali ke Pers Bawah Tanah oleh Dr Hernani Sirikit Syah MA, pegiat media
PWMU.CO– Dua puluh satu tahun Reformasi, pers Indonesia mengalami kebebasan yang boleh disetarakan dengan kebebasan pers di negara-negara Barat. Seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Dalam perkembangannya, pers kemudian kembali menjadi alat atau corong penguasa. Setidaknya kita pernah mengalami masa-masa kejayaan dan independensi pers Indonesia.
Memang siklus eksistensi pers, menurut sejarahnya adalah: pers bawah tanah (revolusioner) – pers partisan – pers pembangunan – pers independen – pers partisan – pers penguasa – kembali pada pers bawah tanah.
Di Indonesia, kronika seperti di atas dapat dijabarkan dalam kronologi waktu: pra kemerdekaan – awal kemerdekaan – masa pembangunan (Orba) – Reformasi – media partai-partai politik – media yang dikontrol/dipengaruhi penguasa (era pemerintahan saat ini) – portal berita dan akun-akun media sosial sebagai pers gerilya/bawah tanah.
Saya dapat mengatakan bahwa media saat ini berada dalam kontrol dan pengaruh penguasa karena mendengar dari dua pihak: pihak internal redaksi dan pihak aparat (dalam hal ini Polri).
Dalam kesempatan yang berbeda, keduanya memiliki cerita yang sama, yaitu aparat atau pejabat kerap berkunjung ke ruang-ruang redaksi, mengimbau mana yang bisa disiarkan mana yang tidak.
Kalau di era Reformasi, “larangannya” adalah menyiarkan Amien Rais, di era Jokowi, larangannya adalah HRS dan FPI. Jangan ada sedikitpun berita tentang mereka.
Tentu itu hanya satu-dua contoh. Banyak hal lain mengenai mana yang harus disiarkan, misalnya, Omicron makin ganas menjelang Ramadhan. Mana yang tak perlu disiarkan seperti berbagai persoalan perihal kepindahan Ibu Kota Negara (IKN).
Di sinilah kita dapat menganalisis adanya praktik priming, selain yang sudah kita kenal praktik framing dan agenda setting.
Framing merupakan praktik media yang, sesuai namanya, memberi bingkai atas suatu isu atau peristiwa dengan bingkai tertentu. Potret yang bagus bisa dibingkai dengan kayu rusak, atau potret yang buruk diberi pigura kaca dan kayu berukir.
Begitu pula dengan fakta berita. Berita tentang IKN dibingkai dengan indahnya “supaya tidak Jawa lagi, Jawa lagi”, mengabaikan banyak fakta buruk tentang rencana itu.
Praktik agenda setting adalah media massa memiliki agenda tertentu ketika menampilkan fakta berita. Agendanya bisa dari politik redaksi (prinsip redaksional), bisa juga agenda narasumber atau subjek pemberitaan.
Salah satu contoh terdekat adalah isu Museum Holocaust di Sulawesi Utara. Museum ini sangat tidak kontekstual dan tak berakar dalam sejarah Indonesia. Aneh saja tiba-tiba ada Museum Yahudi di negara Indonesia, sementara seluruh dunia sedang mengecam kekejaman Israel terhadap bangsa Palestina.
Banyak media kemudian mengalihkan isu, melalui wawancara dengan beberapa tokoh, bahwa pendirian museum itu untuk tujuan edukasi. Pertanyaannya tentu: mengapa tidak museum Uyghur, museum Palestina, museum Rohingya, untuk edukasi HAM?
Mengapa Holocaust? Di mana yang mengklaim sebagai korban sekarang sedang membalas dendam dengan kekejaman berkali lipat? Apa agenda settingnya? Bisa jadi: normalisasi hubungan RI-Israel, maraknya Yudaisme, dan tergerusnya Islam.
Teori ketiga adalah priming (pengutamaan). Ini adalah proses bagaimana media massa menekankan/menonjolkan satu isu dan mengabaikan lainnya. Penonjolan atau pengabaian ini bisa dengan cara pemberitaan terus menerus, ketiadaan beritanya, posisi/penempatan dalam laman/halaman, ukuran space atau durasi, penyertaan ilustrasi, dll.
Penekanan terhadap satu peristiwa sekaligus pengabaian terhadap peristiwa yang lain ini menimbulkan konsekuensi berupa perubahan standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005).
Contoh paling bagus adalah diabaikannya berita-berita kejahatan teroris-separatis yang menganiaya dan membunuhi rakyat sipil, PNS, tentara dan polisi di bumi Papua. Sebagai gantinya – pada waktu yang sama- media terus menerus memberitakan penangkapan ustadz-ustadz dengan tuduhan kosong (tak ada satu pun tuduhan terbukti, apakah radikalisme, terorisme, penyumbang dana ISIS, dll).
Kriminalisasi terhadap tindak dakwah dan sedekah ini terus diberitakan. Efeknya adalah rakyat percaya bahwa banyak ustadz harus diwaspadai, dan banyak pesantren terpapar terorisme. Apakah rakyat akan percaya bahwa teroris-separatis Papua adalah “sodara yang harus dirangkul”? Tinggal menunggu waktu.
Ketiga tantangan pers ini, disadari atau tidak, menghantui kinerja pers Indonesia. Kontrol penguasa ke media, baik melalui ancaman pencabutan iklan atau sebaliknya godaan kucuran dana, atau ancaman politik dan ekonomi lainnya, membelenggu pers kita. Situasi ini mendorong munculnya kembali ke pers bawah tanah.
Tentu tidak semua media kita demikian. Masih ada beberapa media arus utama yang tidak membebek arahan penguasa. Di samping itu, pilar kelima, yaitu akun-akun media sosial yang berperan sebagai pers bawah tanah, memberi keseimbangan informasi pada konsumen berita di Indonesia. Selamat Hari Pers Nasional. Semoga merdeka!
Surabaya, 9 Februari 2022
Editor Sugeng Purwanto