Kecerdasan Spesial Gamer
Dalam sesi tanya jawab, dr Aisah kembali menegaskan pentingnya musyawarah. Yakni saat menjawab pertanyaan Nur Laila—ibu Rey Rosyaila Roxanne Rosyadi kelas III Qatar.
Awalnya, Nur Laila mengajukan kasus orangtua yang mendukung anaknya hobi main game online. “Akhirnya anak menjadi gamer yang hampir seluruh waktunya untuk main game. Sampai akhirnya menghasilkan cuan dari hobinya,”
“Sedangkan orangtuanya mendukung. Adik-adiknya juga candu dengan gadget. Orangtua membiarkan saja dengan alasan tidak mau marah dengan anak,” tulisnya di kolom komentar.
Menanggapi kasus itu, Aisah Dahlan memahami kini ada fenomena anak menjadi gamer dan menghasilkan cuan. Bahkan, game online di era digital ini sudah ada pertandingannya, mulai tingkat lokal sampai internasional. “Karena menghargai bakatnya!” imbuh dr Aisah.
Kalau zaman dulu, kata dr Aisah, adanya permainan tradisional seperti layang-layang karena belum masuk era digital. Tapi, sekarang pun, tidak semua anak bisa menjadi gamer. “Orang gamer bukan sekadar dia suka main game, bukan!” tegasnya.
Sebab, memang ada bakat di otak gamer. Yaitu gabungan kecerdasan visual-spasial, kinestetik, dan logis-matematik. Jika tiga kecerdasan tersebut memang menonjol pada anak dan orangtua mendukungnya menjadi gamer, menurut Aisah itu pilihan yang tepat. Artinya, orangtua—dengan kesadaran tinggi—mendukung hobi yang sesuai bakat anak.
Kalau orangtua membiarkan saja anak banyak bermain game dengan alasan tidak mau marah dengan anak, Aisah Dahlan menegaskan ini keliru. Alasan ini bukan wujud dukungan orangtua yang tepat. “Memang marahnya dilarang, tapi musyawarah boleh!” jelas dia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni