PWMU.CO– Penundaan Pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan publik melanggar spirit konstitusi.
Hal itu disampaikan pakar hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Dr Fahri Bachmid SH MH, Senin (28/2/2022).
Dia mengatakan, penundaan Pemilu berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden, Menteri, DPR, DPD dan DPRD serta jabatan-jabatan publik lainnya yang tidak ada dasar hukumnya.
“Usulan penundaan Pemilu merupakan constitution disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi,” ujar Fahri Bachmid.
Secara teoritik maupun konstitusional tidak ada jalan yang disediakan oleh UUD 1945 dan tidak berangkat dari reasoning yang memadai. ”Sebab alasannya bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil yang secara konstitusional dapat diterima,” katanya.
Misalnya terancam oleh pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa atau timbul perang atau bahaya perang berdasarkan Perpu No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya.
”Atau berdasarkan prinsip hukum tata negara darurat dikenal dengan staatsnoodrechts (keadaan darurat negara) atau noodstaatsrechts (hukum tata negara dalam keadaan darurat), sehingga presiden sebagai kepala negara dapat menetapkan sebuah kebijakan dan kebutuhan hukum sesuai prinsip hukum yang berlaku,” paparnya.
Jika memang alasan itu ada, Fahri mengatakan, maka presiden mendasarkan diri pada prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality) yang dikenal dalam hukum internasional, Prinsip ini dianggap sebagai the crus of the self defence doctrine atau inti dari doktrin Self Defence. Secara inheren prinsip proporsionalitas dianggap memberikan standar mengenai kewajaran (standard of reasonabeleness).
Disampaikan Fahri, prinsip necessity termasuk mengambil dan menetapkan beleeid tertentu, yang salah satunya adalah opsi dekret dengan segala konsekuensinya, baik politik maupun hukum, untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024. Dengan demikian, konsep usulan penundaan Pemilu yang disampaikan oleh interest group tersebut setelah ditelaah secara mendalam dan cermat, ternyata mempunyai potensi pelanggaran serta berakibat terjadinya pembangkangan secara terbuka terhadap konstitusi.
Secara doktrinal, Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional, tentunya menempatkan konstitusi sebagai hukum dasar yang supreme, serta wajib untuk dilaksanakan, bukan untuk diperdebatkan yang pada akhirnya melahirkan sikap pembangkangan terhadap nilai serta norma konstitusi itu sendiri.
Fahri berpendapat, usulan penundaan Pemilu ini tentunya tidak terwadahi serta tidak dikenal dalam rumusan norma konstitusi, sehingga tentunya menjadi tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tentang Pemilu itu sendiri, dengan demikian usulan itu hanya dapat dipandang sebagai Ius constituendum atau konsep hukum yang dicita-citakan, dan belum diakomodasi dalam konstitusi.
Pemilihan presiden dan wakil presiden, secara limitatif dan definitif diatur dalam ketentuan norma pasal 7 UUD 1945. Pasal 7 mengatur secara expressis verbis bahwa ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Selanjutnya ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) yang secara terang mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan selanjutnya ketentuan berikutnya mengatur bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Berangkat dari rumusan konstitusi itu, maka UUD 1945 telah mengatur secara restriksi tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali. Ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. (*)
Editor Sugeng Purwanto