Diktaktor Partikelir dan Matinya Demokrasi, oleh Dhimam Abror Djuraid, kolumnis tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Arkian, di sebuah hutan seekor kuda berkelahi dengan seekor rusa jantan. Si kuda terdesak dan kalah. Lewatlah seorang pemburu, dan si kuda meminta pertolongan kepada pemburu untuk bisa mengalahkan rusa jantan.
Pemburu bersedia membantu kuda dengan berbagai syarat. Pemburu memasang sepatu besi di kaki kuda, memasang tali kekang di hidung kuda, dan memasang pelana di punggung kuda untuk dinaiki dan dikendalikan oleh pemburu. Dengan semua peralatan itu si kuda dengan bantuan pemburu bisa mengalahkan rusa jantan.
Selesai pertarungan kuda meminta pemburu untuk melepas semua yang telah dipasang di tubuhnya. Tapi si pemburu tersenyum menyeringai dan mengatakan, ‘’Wow, tidak bisa semudah itu, kawan. Aku sudah memacumu dalam kendaliku, dan aku sudah memutuskan untuk tetap memperlakukanmu seperti itu’’.
Sang kuda yang sudah terjebak oleh tipu daya pemburu hanya bisa diam, tertunduk, dan menyesali kebodohannya. Kalau saja dia mau berpikir lebih panjang dan bekerja sedikit lebih keras, dia akan bisa mengalahkan rusa jantan. Tetapi, kuda tertipu dan teperdaya oleh si pemburu dan akhirnya terperangkap seumur hidup.
Diktaktor Partikelir
Cerita fabel itu dikutip oleh dua ilmuwan Harvard, Prof Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam buku How Democracies Die (2018). Beberapa waktu yang lalu buku itu viral di Indonesia karena Gubernur DKI Anies Baswedan mengunggah fotonya di media sosial sedang membaca buku itu sambil bersantai mengenakan sarung. Publik bertanya-tanya apa isi buku itu. Dan dalam waktu singkat buku itu menjadi best seller di Indonesia.
Levinsky dan Ziblatt menjelaskan proses kematian demokrasi di Amerika di bawah Presiden Donald Trump pada 2016-2020 dengan mengungkap sejumlah indikasi yang terjadi di era itu. Semua indikator dan fenomena yang diungkap Zibalt terjadi di Amerika. Tetapi, penelitian ini bersifat induktif yang memungkinkan peristiwa yang bersifat partikular bisa mengarah ke sifat universal yang berlaku di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Kematian demokrasi di Amerika di bawah Trump menjadi sindiran terhadap Indonesia. Unggahan Anies dengan buku itu di media sosial menjadi perfect timing dengan kondisi Indonesia yang mengalami berbagai fenomena yang bisa mengarah kepada kematian demokrasi.
Levinsky-Ziblatt mengajukan beberapa hal yang menjadi indikasi kematian demokrasi. Di masa lalu demokrasi mati karena munculnya diktator dari kalangan militer yang memberangus demokrasi dengan kekerasan dalam sebuah kudeta. Saat ini, diktator model baru muncul dari kalangan sipil yang memenangkan kekuasaan melalui pemilu, tapi kemudian menyelewengkan prinsip-prinsip demokrasi.
Diktator militer sudah menjadi bagian dari masa lalu. Sekarang muncul varian baru diktator sipil alias diktator partikelir. Dia tidak datang dari kalangan jenderal militer yang kuat, tapi datang dari kalangan publik atau swasta, dan bahkan muncul dari kalangan rakyat, atau setidaknya mengaku sebagai bagian dari rakyat melalui politik populisme.
Fenomena diktator partikelir itu terjadi di Brazil dengan munculnya Jair Bolsonaro yang populis. Di Filipina muncul Rodrigo Dutarte yang menapaki karir politik mulai dari walikota sampai menjadi presiden, dan kemudian memerintah dengan tangan besi. Hal yang sama terjadi di Peru, Polandia, dan Rusia dengan munculnya Vladimir Putin.
Putin yang sekarang mengerahkan pasukan Rusia menggempur Ukraina adalah personifikasi ‘’diktator demokratis’’ yang memenangkan kepresidenan melalui pemilihan umum sejak awal 2000. Putin kemudian mengamandemen konstitusi yang memungkinkannya untuk memerintah sampai 20 tahun mendatang. Dengan usia Putin yang sekarang 69 tahun praktis Putin bisa menjadi presiden seumur hidup.
Baca sambungan di halaman 2: Pembajakan Demokrasi