PWMU.CO – Tiga langkah, minimal harus dilakukan Muhammadiyah dalam menghadapi era disrupsi. Yakni antisipasi, adaptasi dan inovasi.
Hal ini disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Dadang Kahmad MA dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah 2022 dengan tema Media, Masyarakat Digital dan Dakwah Muhammadiyah, Kamis (10/3/2022).
Prof Dadang mengatakan, Muhammadiyah saat ini sangat perlu berperan dalam memainkan dunia digital, karena ini relevan dengan kondisi dan urgent untuk dilakukan Muhammadiyah di abad kedua.
“Saya pikir, tema yang diangkat dalam seminar ini, sangat relevan dengan kondisi sosial budaya sekarang dan urgent untuk diperbincangkan. Karena ini merupakan isu yang sangat aktual, banyak dibicarakan orang terkait dengan perubahan dahsyat yang sedang terjadi di masyarakat, dan melahirkan tantangan baru di berbagai hal,” katanya.
Dia menuturkan, tantangan dakwah Muhammadiyah di abad kedua ini jauh berbeda dengan tantangan di abad petama.
“Alhamdulillah di abad pertama kita sudah bisa berprestasi dengan baik. Di abad kedua yang penuh dengan virtual ini kita juga perlu mengambil langkah yang signifikan untuk bisa bermain dan berjuang sehingga bisa meraih keunggulan bersama,” ucapnya.
Awal abad kedua Muhammadiyah, kata Prof Dadang, ditandai dengan munculnya internet sekaligus dimulainya revolusi industri 4.0 pada tahun 1990an yang membawa perubahan luar biasa kepada masyarakat.
“Dengan munculnya penggunaan internet, lahirlah berbagai penemuan baru di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang mengakibatkan perubahan besar pada perilaku umat manusia, bukan hanya di Indonesia tapi masyarakat dunia,” terangnya.
Perubahan Berimplikasi Ke Berbagai Hal
Ketua PP Muhammadiyah kelahiran Garut, Jawa Barat, 5 Oktober 1952 ini mengatakan, lahirnya masyarakat virtual, membawa perubahan terhadap cara pandang, sikap dan perilaku yang bukan hanya berimplikasi pada sosial, budaya, dan teknologi, melainkan juga masuk ke berbagai aspek kehidupan manusia dari tata cara kebiasaan, hubungan pribadi, sampai kepada persoalan keagamaan yang sangat sensitif.
“Seperti lahirnya jumatan online, haji metaverse, silaturahmi virtual, perkawinan jarak jauh dan lain-lain. Dan yang paling mengkhawatirkan bagi kami adalah, respon anak-anak millenial dan generasi Z sangat rendah terhadap agama,” ungkapnya.
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung ini menjelaskan, beberapa penelitian menunjukkan, saat ini perhatian anak-anak muda terhadap agama itu sangat rendah.
“Ini tentu sangat memperhatikan. Termasuk juga penelitian saudara Burhanuddin di Bekasi, anak anak muda saat ini tidak lagi mengenal organisasi seperti Muhammadiyah ataupun NU, namun mereka lebih mengenal ustadz-ustadz yang ada di media sosial,” papar Dadang.
Maka, menurutnya, Muhammadiyah harus dengan serius menghadapi perubahan zaman, karena semua amal usaha yang ada dan hebat-hebat itu adalah kebanyakan warisan masa lalu, yang sangat berorientasi organik. Sehingga Muhammadiyah harus banyak berkreasi melahirkan amal usaha baru yang betul-betul merespons keberadaan masyarakat digital ini.
“Oleh karena itu, harus lahir dari Muhammadiyah sistem sekolah baru yang berbasis digital, sistem sarana kesehatan baru yang tidak harus bertatap muka, model ekonomi pemberdayaan umat berbasis digital seperti halnya marketplace yang sudah kita kenal. Serta harus ada sistem dakwah islamiyah yang berbasis digital, kalau mungkin membuat tuntutan ibadah yang berbasis digital juga,” katanya.
Muhammadiyah Harus Merespon Perubahan
Dengan sekuat tenaga, imbuh Dadang, Alhamdulillah Muhammadiyah sudah ada beberapa rintisan seperti universitas berbasis digital, media-media sosial, maupun TVmu yang juga sudah bermain ke arah sana. Dia berharap, mudah-mudahan ini bisa dipekuat lagi dengan aspek-aspek lain.
“Ketika dunia lari, maka Muhammadiyah juga harus berlari mengimbangi perubahan tersebut. Muhammadiyah harus merespon perubahan di era distrupsi ini minimal dengan tiga langkah yakni antisipasi, adaptasi dan inovasi,” jelasnya.
Antisipasi untuk tetap mencermati setiap perubahan masyarakat dari waktu ke waktu. Beradaptasi dengan kondisi, serta berinovasi menciptakan produk-produk baru dan media baru yang merupakan kreativitas dalam berpikir inovatif karena ini keterpanggilan untuk memenuhi perubahan.
“Kalau dulu, perubahan ini terjadi setiap 100 tahun sekali, 50 tahun sekali, atau 20 tahun sekali. Tapi saat ini, tidak hanya 5 tahun sekali melainkan setiap tahun terjadi perubahan-perubahan yang mengagetkan kita. Maka itulah yang perlu diantisipasi Muhammadiyah,” tandasnya.
Dadang pun berharap agar seminar ini menghasilkan output yang benar-benar dapat diaplikasikan persyarikatan dalam menghadapi perubahan zaman yang serba cepat. Memberikan arahan dalam antisipasi, adaptasi dan inovasi gerakan perjuangan dakwah.
“Sebagaimana KH Ahmad Dahlan mengatakan, Muhammadiyah sekarang berbeda dengan Muhammadiyah yang akan datang, maka teruslah kamu menuntut ilmu di mana saja. Saya kira perkataan KH Ahmad Dahlan ini menuntut kita untuk senantiasa berinovasi, melakukan perubahan-perubahan dan strategi, sehingga dakwah kita tetap berjalan untuk mensosialisasikan Islam berkemajuan,” pungkasnya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni