Ghibah Syar’iyah di Bulan Puasa oleh Dr Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO– Ada istilah baru yang agak menggelitik, yaitu ghibah syar’iyah. Kata itu sering diucapkan teman dosen saya untuk menyindir orang yang tampak islami tapi suka bergosip.
Kebiasaan gosip atau bahasa agamanya ghibah, menemukan bentuk yang lebih luas di era menjamurnya media sosial. Saat puasa juga masih saja ghibah secara masif.
Ada yang beralibi membicarakan negara bukanlah ghibah namun kepedulian terhadap tanah air. Itu ghibah syar’iyah. Gosip media TV dikemas dengan performa yang baik sehingga serasa hiburan padahal sedang menggunjing. Parahnya banyak yang menikmati sajian ghibah media.
Tidak jarang meski sedang berpuasa menikmati tayangan ghibah, meng-share materi-materi atau konten yang provokatif, menambah analisis, dan komentar merendahkan, mencemooh, dan tanpa data yang benar.
Apa lagi obrolan pada grup Whatsapp. Awalnya cuma postingan khilafiyah. Selanjutnya sahut-menyahut memberi komentar sekenanya. Menyerang secara personal tanpa dosa dan memberi komentar tanpa ilmu.
Nafsu merendahkan menjadi ruh dari ghibah sehingga membuat tidak nyaman bagi yang dibicarakan dan pengikutnya jika yang digunjing adalah tokoh panutan.
Sama Arti
Dalam bahasa Arab gosip disepadankan dengan ghibah. Yaitu menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya. Biasanya ghibah lebih menghina dan fokus ke cerita aib.
Sedangkan gosip bebas. Kadang pembicaraan tak ofensif dan menyinggung. Sebenarnya dari segi bahasa pada awalnya gosip adalah jenis pembicaraan yang biasa, namun seiring berjalannya waktu kata-kata gossip dimaknai sebagai ghibah.
Ghibah merupakan sifat yang tercela dan dilarang oleh agama berdasarkan al-Quran dan Hadis karena mengandung bahaya besar, baik individu maupun masyarakat.
Konsep lain yang mirip adalah curhat. Pada dasarnya, curhat hanya membicarakan diri sendiri. Sedangkan ghibah membicarakan orang lain yang belum tentu benar adanya.
Jika disimpulkan, ghibah adalah sebuah perbuatan dengan menyampaikan sesuatu kepada orang lain berupa keburukan.
Level di atas ghibah adalah fitnah yaitu perbuatan dengan menuduh seseorang yang tidak sesuai dengan realita (kenyataan).
Gosip, rumor, dan isu adalah informasi yang bisa jadi benar, bisa jadi salah. Atau asal-usulnya tidak jelas dan diragukan kebenarannya.
Kalau informasi itu terverifikasi adalah berita. Informasi yang sudah dijamin kebenarannya dengan fakta/data keterangan atau konfirmasi dari para pihak (narasumber).
Sebuah berita yang benar bisa menjadi ghibah jika diberi narasi dan tambahan yang tidak terkonfirmasi. Awalnya bicara berita, kemudian sedikit curhat, ditambah rumor, naik ke level ghibah. Berakhir dengan fitnah.
Curhat yang tidak tepat bisa saja tidak etis, tetapi ghibah dan fitnah jelas dilarang dalam Islam.
Bohong
Perilaku ghibah mendekati kebohongan dan berakibat sama-sama tidak menyenangkan bagi pihak yang dibicarakan. Padahal Allah swt sangat tidak suka pada orang yang berbohong meskipun mengerjakan puasa.
Hadits dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw telah bersabda, barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan suka mengerjakannya, maka Allah tidak memandang perlu orang itu meninggalkan makan dan minumnya. (HR Al-Khamsah).
Jangan sampai puasa kita sia-sia karena suka berghibah. Setiap menerima informasi, langkah pertama membaca dengan jeli dan teliti. Kedua, investigasi dan klarifikasi.
Pikirkan asas manfaat. Jadi sebelum posting sesuatu kita harus menyadari dan mempertimbangkan tujuannya, isi kontennya, manfaatnya dan dampak yang mungkin diakibatkan. Apakah postingan kita memberi dampak positif bagi masyarakat, negara bahkan agama, atau sebaliknya.
Tabayyun
Begitu pula dalam tabayyun, ada dua prinsip utama: benar dan bermanfaat. Benarpun juga harus dipikirkan ada manfaatnya apa tidak. Karena informasi yang benar belum tentu bermanfaat.
Dalam al-Quran, tabayyun disebutkan secara jelas surat an-Nisa’ ayat 94 dan al-Hujarat ayat 6. Kedua ayat tersebut, tabayyun artinya mencari kejelasan hakikat suatu atau kebenaran suatu fakta dengan teliti, seksama dan hati-hati.
Sekali lagi harus selalu diingat, prinsip utama tabayyun media sosial adalah investigasi, baik terhadap sumber, konten, manfaat dan dampak.
Sebelum membagikan kiriman, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: semua yang kita posting dan share dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dilakukan tabayyun/klarifikasi terlebih dahulu, mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah (menghindari tulisan gunjingan, adu domba, ghibah, mengandung unsur pornografi, pembeberan rahasia orang, kelompok atau negara, dll).
Tidak mengarah pada radikalisme dan terorisme. Bahasa yang digunakan wajar, baik dan santun.
Selamat dari Ghibah
Bagaimana supaya kita selamat dari ghibah media? Banyak cara agar kita bisa menyelamatkan puasa kita, di antaranya: selektif menerima informasi. Banyak membaca, harus mengikuti media lain seperti media online, TV, koran, majalah sebagai acuan dan pembanding kebenaran peristiwa.
Tidak mudah menyebarkan informasi, mengindahkan aspek hukum baik positif (cyber crime), maupun normatif (hukum agama).
Ingat hadits riwayat Muslim ini; Dari Hafsh bin Ashim: Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan (share) apa saja yang dia dengar (baca).
Apa lagi saat menjalankan ibadah puasa. Perilaku dusta dalam bentuk ghibah hanya akan membuat puasa kita sia-sia.
Kalau dulu ada istilah mulutmu harimaumu, sekarang jarimu masa depanmu. Atau dalam pepatah Arab disebutkan: salamatul insan fi hifdzi lisan. Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya mengendalikan lisannya.
Keselamatan puasa kita juga ditentukan oleh mulut dan jari kita apakah ghufiro lahu (diampuni segala dosanya dan menjadi takwa), atau hanya ats wal ju’ (hanya memperoleh haus dan lapar).
Editor Sugeng Purwanto