Jongos Globalisasi oleh Daniel Mohammad Rosyid, guru besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jatim.
PWMU.CO– Lingkungan strategik global sedang berubah. Gravitasi dunia sedang bergeser ke China, setelah dunia kehilangan kepemimpinan AS yang bangkrut akibat perangnya di Afghanistan selama 20 tahun.
Kelumpuhan NATO merespons intervensi militer Rusia atas Ukraina menunjukkan dengan makin jelas bahwa kita sedang memasuki episode a post-American world seperti analisis Fareed Zakaria.
Negeri yang konon Pancasila ini ternyata gamang menghadapi perubahan geopolitik global. Baik Laut China Selatan maupun Laut Hitam menjadi teater perang yang semakin menentukan akhir dari peta geopolitik baru ini.
Bagi muslim Indonesia, fitnah Barat adhdhaalliin akan bergeser menjadi fitnah China al-maghdhuub yang berpotensi lebih brutal. Politik komunis dan ekonomi kapitalis China adalah kombinasi yang paling merusak negara-negara yang selama satu dekade terakhir telah menjadi satelit China. Termasuk Indonesia.
Umat Islam Indonesia telah menjadi target islamofobia yang sangat meresahkan dan menyakitkan oleh kaum sekuler kiri dan nasionalis radikal (sebagai useful idiots) yang diam-diam makin berkuasa sejak reformasi 20 tahun silam tanpa menggunakan partai politik mereka sendiri.
Sekalipun rezim saat ini makin jelas merendahkan dirinya menjadi operator setia kepentingan China di Indonesia melalui proyek One Belt One Road-nya, cengkraman AS dan Barat yang telah lama menghegemoni negeri ini masih cukup kuat.
AS dan Barat serta melalui Jepang, Singapura, dan Australia tidak akan begitu saja melepas pengaruhnya di Indonesia. Setelah AS di bawah Trump makin inward-looking, kini AS di bawah Biden akan lebih outward-looking memainkan peran geopolitik global di Asia Tenggara, dan Indo-Pasifik.
Wacana pengunduran Pemilu 2024 dan perpanjangan periode jabatan presiden menunjukkan tekanan kepentingan China untuk menuntaskan hegemoni pengaruhnya vis-a-vis AS-Barat di Indonesia.
Kegagalan Soekarno dan Soeharto untuk mewujudkan Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kegagalan reformasi mencapai tujuannya yaitu demokratisasi, pemberantasan korupsi serta desentralisasi kini menyisakan pertanyaan apakah UUD45 dan hasil amandemennya masih relevan menjadi pijakan filosofis bagi perwujudan cita-cita kemerdekaan yang telah diproklamasikan 77 tahun silam.
Jika konstitusi adalah penanda utama kemerdekaan sebuah bangsa, maka pada saat realitas geopolitik saat ini berbeda sama sekali dengan 77 tahun silam, dan bangsa ini menemukan dirinya hanya sebagai kuli dan jongos bagi bangsa-bangsa lain.
Reproklamasi
Mungkin kini tiba saatnya bagi kita untuk memikirkan sebuah reproklamasi sebagai negara baru. Kecuali apabila bagi kita the very idea of independence and freedom do not ring the bell anymore.
Sampai di sini perlu dicatat bahwa kegagalan Kerajaan Demak untuk menggelar pertempuran laut di lepas pantai utara Jawa melawan Portugis di paro kedua abad 16 telah membuka era kolonialisme sebagai perampasan kemerdekaan di Nusantara Islam.
Selanjutnya infrastruktur maritim berupa armada samudra bekas Majapahit yang dikuasai Demak Islam dan Makasar dipreteli VOC melalui perjanjian Giyanti, dan Bongaya.
Penting dicatat bahwa pembatasan penguasaan teknologi kapal oleh para pelaut dan master boat builders Nusantara menjadi instrumen kolonialisasi Barat yang penting atas Nusantara Islam hingga hari ini.
Begitulah, fitnah penjajahan atas berbagai negeri muslim sebagai kelanjutan perang salib sesungguhnya telah dimulai sejak misi kerasulan Isa as dibajak oleh Samiry ad Dajjal.
Kemerdekaan jauh lebih penting daripada kesejahteraan dan kemakmuran material. Dari kemerdekaan itulah tanggung jawab dapat ditagihkan dan keadilan memiliki maknanya.
Para budak, jongos dan kuli tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Amartya Sen bahkan mengatakan bahwa pembangunan adalah ikhtiar untuk memperluas kemerdekaan. Development as Freedom.
Adalah Islam yang paling kuat memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan. Jika Kartosuwiryo adalah penerus mimpi raja Jawa tanpa mahkota Tjokroaminoto yang terilhami oleh Diponegoro, maka pada saat intervensi Rusia ke Ukraina berpotensi sebagai pretext bagi Perang Dunia III.
Rocky Gerung mengatakan secara terbuka bahwa justice lebih bisa diharapkan dalam sebuah negara Islam daripada negara Pancasila. Maka pilihan itu kini telah dibuka oleh sejarah bangsa ini.
Gunung Anyar 23 April 2022
Editor Sugeng Purwanto