Yoshinori Ohsumi Jadi Inspirasi Puasa di Pengajian Ramadhan

Yoshinori Ohsumi
Dr Saad Ibrahim ceramah Pengajian Ramadhan di Graha KH Ahmad Dahlan, Kota Probolinggo. (Ikhsan Mahmudi/PWMU.CO)

PWMU.CO–  Yoshinori Ohsumi, pemenang Nobel Kedokteran (Fisiologi) dihadirkan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Saad Ibrahim MA saat mengisi Pengajian Ramadhan di Graha KH Ahmad Dahlan, Kota Probolinggo, Sabtu (23/4/2022) sore.

Temuan dokter kelahiran Fukuoka, Jepang, 9 Februari 1945 silam itu menunjukkan, betapa puasa bisa menyehatkan tubuh.

”Yoshinori Ohsumi ini meneliti seseorang yang menahan lapar dan dahaga selama 12 jam lebih pertumbuhan sel-sel tubuhnya semakin sehat,” ujar Kiai Saad di hadapan puluhan warga persyarikatan Muhammadiyah.

Ohsumi dianggap berjasa atas penemuannya tentang degradasi dan daur ulang sel dalam proses yang disebut sebagai autofagi, sehingga meraih Nobel pada 2016 lalu.

”Autofagi itu ya kalau dalam Islam puasa, menahan makan, minum mulai pukul 04.00 hingga 17.30,” ujarnya.

Kiai Saad mengakui, sebanyak 25 warga Jepang telah meraih Nobel di berbagai bidang. ”Kami berharap, Muhammadiyah dan NU sebagai lembaga kelak bisa mendapatkan Nobel, soalnya pernah ada yang mengusulkan,” katanya.

Perubahan Sosial

Dalam pengajian bertajuk Puasa Ramadhan Solusi Problem Sosial, Kiai Saad membeberkan sejarah dan hikmah puasa. ”Puasa diwajibkan sejak tahun 623 atau 624 Masehi. Puasa pertama sejak tahun 624 itu selama sembilan kali hingga 10 Hijriah, tahun ke-11 Nabi wafat,” ujarnya.

Ternyata, sembilan tahun kaum muslimin di Yatsrib (sebutan sebelum Madinah) mengakibatkan perubahan sosial yang luar biasa. ”Selama 100 tahun lebih dua suku, Aus da Khazraj berperang, berkonflik mengakibatkan kerenggangan sosial, melalui puasa mereka bisa disatukan,” kata Kiai Saad.

Bahkan warga Yatsrib yang sebelumnya dikenal curang dalam jual-beli (perdagangan) bisa berubah total menjadi masyarakat yang jujur dan berbudaya.

”Puasa mengajarkan manusia untuk imsak, menahan diri. Makan, minum, berhubungan badan perkara halal, tetapi saat berpuasa harus ditahan,” ujarnya.

Dibandingkan ibadah lainnya, kata Kiai Saad, puasa jauh lebih berat. ”Shalat memang lima kali sehari tetapi kalau ditotal waktunya sekitar 30 menit, zakat hanya 2,5 persen itu pun menunggu haul atau setahun, haji wajib seumur hidup bagi yang mampu. Sementara puasa dijalankan sebulan penuh,” katanya.

Akhir puasa tersambung dengan Hari Raya Idul Fitri. ”Kondisi ini sangat cocok dengan kondisi masyarakat Madinah yang agraris, warganya menanam dulu, bersabar kemudian berhari raya saat panen,” ujarnya.

Puasa selalu mengajarkan optimisme dan kemenangan. ”Prinsip puasa itu menahan diri, ada investasi, yang kemudian dipanen. Dalam konteks Indonesia sekarang, jangan sampai membabat hutan untuk dinikmati sekarang, ke depan kita rugi,” kata Kiai Saad. (*)

Penulis Ikhsan Mahmudi  Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version