Tampil Kolosal, 100 Penari Glipang Getarkan Musyda Muhammadiyah

Tampil kolosal
Sebanyak 100 penari Glipang menari kolosal saat pembukaan Musyda IV Muhammadiyah dan Aisyiyah Kabupaten Probolinggo. (Izza El Mila/PWMU.CO)

PWMU.CO– Tampil kolosal sebanyak 100 penari tari Glipang menggetarkan panggung pembukaan Musyda ke-4 Muhammadiyah dan Aisyiyah Kabupaten Probolinggo di Gedung Sasana Krida, Kraksaan, Ahad (19/3/2023).

Sebagian penari tampil di panggung, di depan panggung, hingga di tribun lantai dua bercampur penggembira Musyda.

Para penari sangat beragam, mulai siswa kelompok bermain, PAUD, SD, SMP, hingga SMA. Diiringi gamelan dan seruling Madura (seronen), gerakan rancak para penari di bawah binaan Sanggar Seni Gema Sang Surya, Desa Pendil, Kabupaten Probolinggo membuat penonton terpana.

Tepuk tangan hadirin berkali-kali terdengar mengiringi gerak para penari Glipang yang mirip pencak silat itu. Sebagian hadirin pun terlihat memotret dan mengambil gambar (video) para penari.

Tari Glipang yang tampil kolosal ini sangat akrab pada keseharian warga Kabupaten Probolinggo. Glipang berasal dari Bahasa Arab, Gholiban yang artinya kebiasaan (kegaliban).

Glipang di Probolinggo diwariskan secara turun-temurun sehingga masih dapat bertahan hingga generasi keempat. Dalam sejarahnya, Glipang bukan sekadar tarian, melainkan menggambarkan keberanian prajurit yang gagah berani melawan penjajah Belanda.

Suparno, 71 tahun, pewaris Tari Glipang (generasi keempat), warga Desa Pendil menceritakan, asal-usul Tari Glipang berasal dari Desa Omben, Sampang. Karena berebut mengembangkan Tari Topeng, Sardan leluhur Suparno, kemudian memilih pindah ke Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo.

Tetapi Tari Topeng yang dibawa Sardan ditolak oleh warga Pendil. Sebab tarian tersebut diiringi gamelan yang identik dengan aktivitas penari yang terbuka auratnya.

Hingga Sardan meninggal dunia, obsesinya membawa tarian ke Pendil masih gagal. Akhirnya cita-cita tersebut dilanjutkan Seno, putra Sardan.

Seno bersama putrinya, Asia (Bu Karto) akhirnya bisa mewujudkan tarian yang cocok bagi warga setempat pada 1935.

Tarian itu bermula dari aktivitas Seno yang populer dipanggil Sadi Taruno, menjadi mandor tebu di Pabrik Gula Gending yang dikuasai Belanda.

“Sekarang, Tari Glipang banyak dikembangkan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Apalagi setelah Pak Sadi Taruno menjadi kader Muhammadiyah,” ujar Ahmad Ridho Pambudi, guru yang pernah berdinas di Kecamatan Banyuanyar.

Selain Tari Glipang, pembukaan Musyda Muhammadiyah dan Aisyiyah juga diwarnai beragam seni. Termasuk Tari Saman hingga atraksi para pesilat Tapak Suci. (*)

Penulis Ikhsan Mahmudi  Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version