Kunjungan penting lainnya, bertemu para pejabat ABIM atau Angkatan Belia Islam Malaysia, di kantor yang terletak di pinggiran kota Kualalumpur. Selain memperoleh penjelasan tentang kiprah ABIM terutama di bidang pendidikan, juga disepakati akan dilakukan student exchange atau pertukaran pelajar antara ABIM dengan Muhammadiyah. Dalam hal ini, Miftakhul Khoir selaku Kepala SMPM Tuban berjanji segera menindaklanjutinya.
Dari Kantor ABIM, peserta melanjutkan perjalanan selama lima jam ke Kota Johor, sebuah kota di bagian paling selatan Malaysia. Bermalam di Johor baru, paginya kami berangkat menuju Singapura untuk bertemu dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Singapura. Menggunakan jalur darat menuju Kota Singa itu, sebenarnya hanya memerlukan waktu 20 menit. Tapi perjalanan dengan rombongan besar, melewati pemeriksaan di bagian imigrasi ternyata tidak mudah. Apalagi wajah-wajah anggota rombongan terlihat “mencurigakan”.
(Baca juga: Wanita Singapura Ini Raih Gelar Doktor Tercepat di UMM)
Dari 23 anggota rombongan hanya 8 orang yang lancar melewati pemeriksaan petugas imigrasi. Sisanya diintrogasi di ruang khusus sekitar dua setengah jam dengan materi pertanyaan yang variatif. Oh ya, anggota rombongan berkurang satu, karena Samsul Arifin kembali ke Probolinggo lebih awal, ada panggilan tugas mendadak.
Usai melewati pemeriksaan, rombongan bergerak menuju kampung Melayu, untuk bertemu para tokoh Muhammadiyah Singapura yang bermarkas di Jalan Selamat. Di kawasan ini terpampang nama-nama jalan yang unik, seperti Jalan Senyum, Jalan Sayang dan jalan Lapang. Di kantor lantai 2, kami diterima oleh tiga pejabat terasnya, antara lain Syeich Hasan dan Ustadz Islahuddin.
Di ruangan yang sangat dingin, kami mendapatkan penjelasakan mengenai Muhammadiyah Singapura. Organisasi yang didirikan pada 1951 itu bukan merupakan cabang Muhammadiyah Indonesia, meski ada kemiripan struktur organisasi dan kiprah gerakannya yang fokus pada pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial. Pemerintah Singapura juga sangat apresiatif terhadap gerakan sosial kemanusiaan yang dilakukan NGO ini.
Oh ya, di tengah padatnya agenda pertemuan nan serius, rombongan tetap menyempatkan untuk menikmati pusat-pusat wisata, seperti Taman Patung Merlion, dan Universal Studios Singapore. Tidak lupa pula berbelanja oleh-oleh di Pasar Seni (Central Market) Kuala Lumpur, dan Kampung Bugis, Singapura.
Pelajaran penting kami peroleh selama berkunjung ke Malaysia dan Singapura, bahwa tokoh-tokoh Indonesia turut berperan penting dalam perjuangan mengembangkan dakwah Islam di kedua negara. Nama Buya Hamka, Buya Malik Ahmad, dan Mohammad Natsir paling sering disebut.
(Baca juga: Menelusuri Gairah Ber-Muhammadiyah di Tanah Rantau Malaysia)
Nama Buya Hamka bukan saja menginspirasi, tapi juga jadi solusi. Misalnya, ketika Muhammadiyah di Malaysia dituduh Wahabi, cukup dengan menyebut nama Hamka, selesai. “Mereka memang pengagum Buya Hamka, buku-buku novelnya menjadi bacaan utama umat Islam di sini,” ujar Sonny. Peran Mohammad Natsir disebut di PAS dan ABIM. Sedangkan Buya Malik Ahmad, diakui sangat besar kontribusinya bagi pertumbuhan Muhammadiyah Singapura.
Program kunjungan ini dirasakan para peserta sangat menginspirasi, dan perlu ditularkan kepada bidang lain. Dr Latipun selaku koordinator program mengingatkan, agar setelah kunjungan ini militansi dan gairah berkegiatan para peserta kian dilipatgandakan. Semoga! (*)