Pentingnya Memperbaiki Hubungan
Kesalahan yang disengaja maupun tidak, memungkinkan timbul keretakan pada hubungan sosial. Salah satu tujuan meminta maaf ialah berupaya merekatkan kembali hubungan yang hampir, sedang, atau sudah terlanjur retak itu.
Namun, anak juga perlu memahami, tidak semua hal dalam kehidupan ini bisa kita atur dan ubah murni hanya dengan usaha kita saja. Bagaimanapun, semua bisa terjadi jika Allah SWT berkehendak alias mengizinkannya.
Dimaafkan atau tidak, itu di luar kendali diri kita sebagai manusia biasa yang berbuat khilaf. Bagaimanapun respon yang akan anak terima, dorong anak tetap menjalankan kewajibannya sebagai Muslim yang berkewajiban menjaga tali silaturahmi tetap terjalin.
Sebagai orangtua yang mengemban amanah mendidik anak, rasanya perlu terlebih dahulu membantu anak memahami pentingnya memperbaiki hubungan. Langkah ini bisa dimulai dengan mengungkap fakta yang terjadi seobjektif mungkin. Orangtua bisa mengatakan, “Bunda lihat waktu kakak lagi main, kakak memukul adik seperti ini.”
Dalam prosesnya, langkah ini juga membuat orangtua maupun anak terbiasa bertabayyun. Tak asal gegabah menuduh secara sepihak, tapi menggali data kejadian sebenarnya agar tepat mengambil langkah.
Pemilihan kata yang mendeskripsikan fakta juga perlu dipertimbangkan agar tidak terkesan memojokkan atau menyalahkan anak. Karena yang terpenting, anak menyadari kesalahannya secara tepat.
Tumbuhkan Empati dan Berani
Untuk memperkuat kesukarelaan anak ketika meminta maaf, orangtua juga perlu mengajak ia menyadari dampak perilakunya terhadap orang lain. Hal ini sekaligus bisa melatih anak menumbuhkan empatinya.
Jika anak belum memahami dampak kekhilafannya, orangtua bisa membantu menjelaskan seperti, “Adik kaget dan kesakitan. Lihat, dia sekarang sedih.”
Tentu pembentukan dan pembiasaan perilaku merupakan proses. Sehingga memerlukan pengulangan beberapa kali, waktu panjang-pendeknya pun bergantung pada seberapa lingkungan terdekat konsisten mendukungnya.
Pada proses melatihnya, guna mempertahankan sikap baik yang muncul, orangtua bisa mengapresiasi secukupnya. Juga membantu seperlunya. Misal anak belum berani meminta maaf, orangtua bisa menemaninya. Mendiskusikan kemungkinan yang membuatnya takut meminta maaf akan sangat membantu anak mengurai ketakutannya.
Orangtua juga bisa membantu anak memahami, manusia dan kesalahan begitu dekat. Tak ada manusia yang tidak berbuat kesalahan. Sebagai manusia biasa yang rendah hati menerima dirinya yang tak akan luput dari kesalahan, maka langkah meminta maaf bisa merobohkan dinding kesombongan diri.
Di samping itu, juga tidak perlu merasa rendah diri ketika Allah menakdirkan kita berada pada posisi perlu meminta maaf. Karena justru dengan itu, sebagai manusia kita akan berkesempatan sedikit melihat bagaimana hadirnya keteladanan sifat Allah SWT yang Maha Pemaaf pada hambaNya.
Sedikit. Karena sebagaimana ketulusan meminta maaf, anak juga perlu memahami ketulusan memaafkan hanya masing-masing individu yang mampu mengukurnya. Bahkan kadang manusia dewasa pun bingung terkait seberapa tulus ia telah memaafkan kesalahan orang lain.
Konsekuensi Logis
Kemudian, harapannya tak berhenti pada mengucap permintaan maaf saja. Tetap ada konsekuensi logis yang perlu anak jalani atas kesalahannya. Sebagai orangtua, kita bisa membantu anak memahami konsekuensi logis itu.
Dukung anak berpikir dengan menanyakan, bagaimana dirinya bisa memperbaiki situasi itu setelah meminta maaf. Jika anak belum memiliki ide, orangtua bisa membantu dengan mengarahkan anak menanyakan kepada orang yang telah dia sakiti.
Misalnya, “Jadi apa yang bisa kamu lakukan? Coba tanya adik, gimana biar dia merasa lebih baik setelah kamu pukul tadi.”
Lebih jauh, untuk mengantisipasi munculnya tindakan kesalahan serupa di lain waktu, orangtua bisa mengajak anak berpikir, apa yang bisa dia lakukan. Misal, “Lain kali, gimana cara main sama adik yang aman?”
Jika sepanjang hidupnya telah otomatis tertanam kesadaran dan keberanian tulus meminta maaf, maka permintaan maaf pada momentum Lebaran sebenarnya hanya berlaku untuk kesalahan yang tidak disadari saja. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post