Kisah Pak AR dan Gus Dur: Memuhammadiyahkan Jamaah NU di Kandang Sendiri, liputan Mahfudz Efendi, kontribttor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO – Guru Besar UIN Sunan Ampel Prof Dr Biyanto MAg mengajak umat Islam merayakan Idul Fitri 1443 yang bersamaan tahun ini dengan penuh rasa syukur.
“Di awal Ramadhan terdapat perbedaan hari namun di 1 Syawal ini dirayakan umat Islam dengan semangat ukhuwah umat Indonesia secara bersamaan. Perbedaan ini sudah semestinya disikapi dengan kedewasaan, kekeluargaan, dan ukhuwah islamiah,” ujarnya.
Biyanto menyampaikan hal itu dalam khutbah shalat Idul Fitri di halaman Masjid At Taqwa, Komplek Perguruan Muhammadiyah Giri, Kebomas, Gresik, Senin (2/5/2022).
Soal kebersamaan itu, Biyanto mengingatkan akan kebersamaan yang pernah dijalin oleh dua tokoh besar Muhammadiyah dan NU. Yaitu KH Abdul Rozak Fachruddin, atau yang dikenal dengan Pak AR dan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
“Meski berbeda ormas, tetapi kedua kiai besar ini sering saling mengunjungi dan sudah seperti saudara. Satu kali, Gus Dur mengundang Pak AR ke Tebuireng, Jombang, pada bulan Ramadhan,” ungkap Biyanto.
Di momentum tersebut, Pak AR membuat ratusan orang NU menjadi ‘mualaf’ Muhammadiyah hanya dalam satu malam. Ceritanya ketika Gus Dur meminta Pak AR memimpin shalat Tarawih di masjid pesantren.
“Ini mau pakai Tarawih NU atau Muhammadiyah?” tanya Pak AR kepada jamaah.
“NU ….,” jawab para jamaah kompak, seolah-olah ingin menampilkan ke-NU-an di depan Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1968-1990 itu. Maksudnya tarawih NU adalah 23 rakaat, sedangkan Muhammadiyah 11 rakaat.
Biyanto melanjutkan ceritanya, tampil di kandang lawan tidak membuat Pak AR grogi. Pak AR menjadi imam dengan tumaninah, pelan, halus, kalem, dan bacaan surah al-Quran yang panjang. Sehingga durasi shalat sudah melampaui Tarawih ala NU, meski baru delapan rakaat. Tentu saja hal itu membuat ratusan jamaah NU gelisah.
Maka, saat sampai delapan rakaat, Pak AR kembali bertanya kepada jamaah. “Ini mau dilanjutkan tarawihnya cara NU yang 23 atau Muhammadiyah yang 11 rakaat?”
“Tarawih Muhammadiyah saja…..” sahut jamaah yang disusul dengan tawa.
Kiai kelahiran Yogyakarta, 14 Februari 1914 itu melanjutkan dengan witir tiga rakaat.
Selesai shalat, Gus Dur yang menjadi Ketua Umum PBNU tahun 1984-1999 itu berkata kepada para jamaah, “Baru kali ini ada sejarahnya warga NU di kandang NU dimuhammadiyahkan secara massal oleh seorang Muhammadiyah saja.
Di bagian lain khutbahnya, Biyanto yang putra asli Lamongan itu menguraikan tentang puasa Ramadhan yang membawakan umat Islam pada fitrahnya sebagai manusia yang kembali pada Tuhannya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni