Buya Syafii Itu seperti Nabi Khidir; kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo
PWMU.CO – “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain”. Begitu pembukaan juz tiga Quran surah al-Baqarah ayat 253, posisi kiri paling atas.
Allah memilihkan jenis kelebihan pada rasul-Nya untuk menjawab persoalan umat mereka. Sesuai tuntutan jamannya. Sesuai momentumnya. Rasulullah Yusuf diberi kelebihan soal ekonomi dan bisnis karena pada jamannya terjadi krisis ekonomi. Nabi Ayub diberi kelebihan kesabaran yang tiada batas untuk menghadapi krisis di atas krisis.
Rasulullah Musa diberi mukjizat yang dahsyat karena jamannya dikuasai oligarki atau persekutuan Firaun (despotisme politik dan militer), Qarun (kapitalisme), dan Hamam (teknologi dan sihir). Mirip-miriplah dengan Amerika sekarang.
Rasulullah Sulaiman diberi kelebihan bidang sains dan teknologi karena menghadapi persekutuan rahasia umat Yahudi dengan setan ahli sihir dan teknologi. (Quran al-Baqarah 102). Persekutuan ini yang kemudian disebut Yakjuj dan Makjuj. Mereka memiliki tuhan yang dibelenggu (Quran al-Maidah 64). Siapa yang dibelenggu? Jawabnya ada di hadits Tamin Ad-Dhari. Yaitu Dajjal.
Demikian pula cara Allah memilihkan pemimpin Muhammadiyah itu disesuaikan dengan permasalahan persyarikatan, umat, dan bangsa. Pas dengan mementumnya. Tuntutan dan kebutuhan. Semua itu indikator betapa sayang dan ridha-Nya kepada Muhammadiyah.
Pak AR dihadirkan saat Muhammadiyah harus menghadapi kepemimpinan nasional gaya “Raja Jawa”. Figur Pak AR itu seperti pohon kelapa. Sangat kuat tetapi luwes. Arah angin diikuti sedikit tapi tidak sampai mentelung. Malah sebaliknya jadi kelihatan indah karena blaraknya melambai-lambai seperti tangan penari remo. Dia bisa nyurteni (memahami) dan ngemong Pak Harto.
Karena rezim tidak mempan oleh amar makruf nahi mungkar gaya Pak AR, bahkan semakin mbegudul karepe dewe (menjadi-jadi) lantas Allah mengganti pemimpin Muhammadiyah dengan Amien Rais. Suaranya lantang, jago mengramesi kata-kata, saraf takutnya sudah putus sehingga berani melengserkan Pak Harto.
Bagaimana dengan Prof Haedar Nashir? Saya sangat yakin Allah memilihkan dia juga karena pada momentum terbaiknya. Sesuai masalah yang dihadapi persyarikatan, umat dan bangsa. Sepadan dengan tuntutan jaman. Jelasnya bagaimana? Nah, insyaallah saya jelentrehkan di lain waktu. Kali ini saya fokus ke Buya Syafi’i Maarif dulu.
Selamatkan Muhammadiyah!
Allah mengizinkan (memilih) Buya Syafii Maarif untuk menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1998 menggantikan Amien Rais yang harus meletakkan jabatan sebagai konsekuensi menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).
Saat itu bangsa Indonesia, termasuk warga Muhammadiyah sedang dilanda badai euforia reformasi. Manusia seperti asyik menari-nari di atas pasir sehingga tidak sadar kalau sedang diseret ombak. Semua terlihat menyenangkan. Indah. Memesona. Tidak sadar bahwa sedang menonton realitas palsu.
Buya Syafii tidak ikut menari atau sekadar duduk di hamparan pasir tersebut. Dia memilih duduk sidikara (istirah) di atas batu yang berada di pertemuan dua samudera. Dari “keterasingannya” dia melihat euforia reformasi bukan dengan mata eksternal (fisik) tetapi dengan mata batin (bashirah).
Buya seolah seperti Rasulullah Sulaiman yang dengan bashirahnya melihat ada “jasad” yang tergeletak di singgasananya. (Quran, ash-Shad 34). Jasad ini berambisi menguasai dunia dari Yerusalem atau al-Quds. Ini sangat bahaya. Maka Sulaiman pun berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapapun sesudahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
Buya melihat (dengan basyirah tentunya) bahaya yang sangat dahsyat. Ada kekuatan tidak kasat mata yang punya obsesi hendak menguasai Indonesia dan menindas bangsanya. Kekuatan ini memafaatkan momentum reformasi ini untuk menggolkan agendanya sendiri. Atau bahkan sangat mungkin memegang skenarionya. Bukankah dalang selalu di belakang layar?
Agar bisa menguasai dan menerkam Indonesia maka pilar-pilar penyangganya harus dihancurkan. Umat Islam, dan khususnya Muhammadiyah adalah salah satu pilar penyangga sangat vital. Muhammadiyah adalah salah satu elemen yang mendirikan negara ini. Tiga tokohnya menjadi perumus dasar negara ini. Tokohnya lagi, Jenderal Besar Soedirman adalah Bapak TNI.
Buya pun mendapat inspirasi untuk segera mengambil langkah: selamatkan Muhammadiyah!
Caranya, meneguhkan Muhammadiyah akan tidak terseret euforia reformasi. Di antara langkah strategisnya adalah Muhammadiyah tidak menjadi fasilitator atau pemrakarsa pendirian partai politik. Muhammadiyah tetap konsisten sebagai organisasi dakwah dengan menekuni bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan keagamaan.
Baca sambungan di halaman 2: Tembok Zulkarnain