Etika Berdakwah
Satu hal yang harus dipahami bahwa yang didakwahkan oleh para kelompok ini adalah pemikiran keagamaan. Islam hadir tidak memberikan cara memahami agama, namun memberikan sumber dan landasan yang kuat dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Karena itulah para ulama menyusun sebuah manhaj atau metodologi yang kita kenal dengan ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah yang juga berkembang dalam rangka memahami dalam rangka ketundukan dan kepatuhan menuju mardhatillah.
Problem relasi Salafi-Muhammadiyah sebenarnya terletak pada etika berdakwah.
Karenanya cara berpikir dan memahami agama masing-masing kelompok berbeda meskipun tujuannya sama. Maka tidak heran kemudian muncul mahzab fikih, mazhab tafsir, mazhab hadits, mazhab tasawuf, dan lain sebagainya. Caranya berbeda-beda, sumbernya sama, disatukan dalam bingkai ukhuwah islamiyah.
Problem relasi Salafi-Muhammadiyah sebenarnya terletak pada etika berdakwah. Muhammadiyah adalah organisasi dakwah yang sejak awal kelahirannya konsen pada pemurnian akidah, penguatan ibadah mahdhah, dan menjalankan ibadah social secara strategis.
Muhammadiyah tidak pernah mengaku paling benar tetapi berjalan pada manhaj bernas sahihah yang dikaji dan ditetapkan berdasarkan ijtihad jama’i. Muhammadiyah tidak pernah mengganggu ormas lain. Ini poin pentingnya. Jika ingin persatuan dan kedamaian maka dakwah seharusnya tanpa mengganggu dakwah orang lain.
Jika setiap kelompok Muslim berkonsentrasi untuk menghadirkan keunggulan-keunggulan Islam dalam bidang sosial, ekonomi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa mengganggu kelompok lain maka akan lahir persatuan dalam bingkai ukhuwah islamiyah.
Namun jika dakwah dilakukan dengan mengganggu rumah tangga orang lain maka persatuan amat jauh api dari panggang.
Berwajah Muhammadiyah Sekaligus Salafi?
Lalu, bisakah orang bermuka dua, menjadi salafi sekaligus Muhammadiyah? Dulu saya punya pengalaman dengan partai Islam yang juga masuk ke jantung Muhammadiyah.
Mereka mengaku sebagai bagian dari Muhammadiyah, kemudian saya tanyakan di mana Muhammadiyahmu? Kamu memiliki amal usaha sendiri, memiliki pengurus sendiri, memiliki manhaj dakwah sendiri, bahkan memiliki dewan syariah sendiri yang lebih kamu ikuti.
Artinya ketika memiliki AD/ART sendiri berarti memiliki rumah sendiri. Beriring dengan berjalannya waktu mereka menyadari posisinya dan bisa hidup bertetangga secara harmonis dengan Muhammadiyah.
Kasus lain, ketika saya mengisi kajian, ada pimpinan Muhammadiyah yang menjadi pengurus partai Islam (pada waktu itu belum keluar edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang larangan rangkap jabatan di partai).
Saya tanyakan, jika ada undangan di hari yang sama dan jam yang sama, mana yang akan didatangi? Dia diam saja. Dan satu pekan berikutnya ada undangan di hari yang sama dan jam yang sama.
Nah, ternyata dia memilih mendatangi undangan partai, kemudian mengundurkan diri dari kepemimpinan Muhammadiyah. Sebuah pilihan yang bijak. Artinya, pengakuan sebagai bagian dari sebuah komunitas akan ditagih bagaimana komitmennya.
Ketika mengisi kajian, saya sering mengemukakan sebuah ilustrasi sebagai pembelajaran etika dakwah. Misalnya: silaturahim adalah sesuatu yang bagus karena bagian dari sunnah rasul.
Jika misalnya, keluarga kita bersilaturahmi ke rumah saudara kandung dan menginap. Tetapi ternyata kehadiran keluarga kita membuat keluarga saudara tersebut tidak nyaman bahkan bertengkar.
Akankah kita tetap tinggal menikmati pertengkaran atas nama ajaran agama bahwa silaturahmi itu sunnah? Atau kita berpamitan baik-baik dengan membuat alasan yang tidak menyinggung saudara kita?
Di sinilah kewarasan dan kebijaksanaan diuji. Apakah kita mencintai saudara kita dengan tulus atau memilih nafsu bersunnah yang salah cara. Bukankah membiarkan Muhammadiyah berdakwah sesuai dengan manhaj-nya sendiri juga bagian dari sunnah?
Baca sambungan di halaman 3: Berwajah Muhammadiyah dan Salafi Sekaligus?
Discussion about this post