
Bermuka Dua: Muhammadiyah Sekaligus Salafi, Mungkinkan? Opini oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tulungagung; Dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO – Artikel berjudul Masuknya Salafi ke Jantung Muhammadiyah yang dimuat PWMU.CO, Selasa (5/7/2022) mendapat respon yang luar biasa. Terbukti sudah ada 31 ribu lebih views.
Ada juga tanggapan yang masuk ke chat redaksi, seperti disampaikan M. Harun dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Dia mengaku sebagai orang yang berpaham salafi dan Muhammadiyah sekaligus.
“Aku menganggap fanatisme organisasi dan beragama adalah ruang sempit yang berpotensi memutus mata rantai historis dan ruang berpikir objektif,” ujarnya.
Menurutnya tulisan Aji Damanuri tersebut sebagai pemahaman subjektif tentang sebuah masalah. Sebab, baginya menganggap fanatisme organisasi dan beragama adalah ruang sempit yang berpotensi memutus mata rantai historis dan ruang berpikir objektif.
Saling asah, asih, dan asuh merupakan jalan terbaik bagi yang berbeda. Coba kita perhatikan, dengan yang berbeda agama saja kita harus toleran, apalagi yang se-akidah, seagama. Hanya perbedaan pemahaman fikih dan mazhab lalu kita saling membenci.
“Salafi itu betul bukan ormas seperti Muhammadiyah. Kita pasti sepakat. Tapi, menurut saya jargon ‘kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah itu sebuah kesamaan visi antara Muhammadiyah dan Salafi,” ujar Harun.
Dia menambahkan, antara Muhammadiyah dan salafi berbeda dalam soal teknis penyajian. Bukan perbedaan dalam prinsip beragama. Karena begitu, akupun sejatinya berpaham salafi sekaligus Muhammadiyah.
Untuk memberi prespektif yang lebih dalam, PWMU.CO kembali menurunkan tulisan Aji Damanuri berjudul Bermuka Dua: Muhammadiyah sekaligus Salafi, Mungkinkan? Selamat menikmati!
Bermuka Dua: Muhammadiyah Sekaligus Salafi, Mungkinkan?
Ternyata tulisan saya mendapatkan respon yang cukup hangat. Ada yang menilai positif, tetapi banyak juga yang menilai sebagai propaganda adu domba yang akan melemahkan persatuan umat.
Karenanya penting mendudukkan persoalan relasi salafi-Muhammadiyah pada porsi yang benar. Apa yang saya tulis bukanlah adu domba, tapi fakta yang harus disadari bersama baik oleh salafi maupun Muhammadiyah.
Paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu intelektual dan etika dakwah. Salafi adalah kelompok Muslim—yang tentu saja sesama Muslim adalah bersaudara.
Posisi Muhammadiyah tidak sedang menghakimi benar dan salah saudaranya, tetapi menunjukkan sebuah kenyataan. Secara akademis insyaallh para intelektual Muhammadiyah sudah khatam membaca pikiran para tokoh salafi.
Kita cukup femiliar dengan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim al Jauzzy, Nasiruddin al Albany, syaikh Mubarokfurry, Hasan al Banna, Sayyid Qutub, Bin Baz, dan lain sebagainya.
Bahkan Afghani dan Abduh cukup memberikan inspirasi kepada KH Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah. Akan tetapi pembacaan para intelektual Muhammadiyah menggunakan “kacamata cerdas”, bukan “kacamata kuda”.
Bagi Muhammadiyah setiap pemikiran tokoh hadir dari ruang, waktu, situasi, dan kondisi yang melatarbelakanginya. Misalnya, fatwa Muhammad Abduh yang menyebut peringatan maulid Nabi sebagai suukul fusuk atau pasar kefasikan tidak ditelan mentah-mentah oleh Muhammmadiyah sehingga mengharamkan peringatan maulid Nabi, tetapi dilihat bagaimana fatwa tersebut lahir.
Karenanya aneh jika ada mubaligh Muhammadiyah dalam mengutip hadits selalu mengkoreksi kesahihan haditsnya pada Nasiruddin al-Albany
Pada masa Abduh, tradisi Mesir dalam peringatan maulid Nabi terkooptasi oleh penjajahan sehingga dilakukan dengan berjoget-ria di kuburan dan perilaku hedonis lainnya. Perilaku yang tidak mencerminkan semangat keagamaan ini membuat Abduh menyatakan bahwa peringatan maulid Nabi adalah pasar kefasikan.
Artinya bukan fatwanya yang kita lihat tetapi alasan di balik lahirnya fatwa tersebut. Coba kita bayangkan Abduh hidup di masa sekarang di mana peringatan maulid nabi diisi dengan pengajian, khataman al-Qur’an, pentas seni anak-anak TPQ, bakti sosial, tentu fatwanya akan lain.
Para tokoh Muslim tersebut diposisikan Muhammadiyah sebagai bagian dari pengayaan perspektif keislaman supaya tidak picik pikir bagai katak dalam tempurung, tetapi juga bukan standar kebenaran.
Karenanya aneh jika ada mubaligh Muhammadiyah dalam mengutip hadits selalu mengkoreksi kesahihan haditsnya pada Nasiruddin al-Albany. Ini tidak sesuai manhaj tarjih atau kriteria ketarjihan. Dalam ilmu hadits biasanya anggapan sahih itu dilakukan oleh para perawi sebagai penguat.
Maka tidak heran sering kita lihat di akhir narasi hadis kalimat wa sahakahu Muslim, wa sahahahu Ahmad, wa dha’afahu Ibnu Hibban, wa hasanahu Malik dan lain sebagainya. Bukan wa sahahahu Albany.
Adalah wajar meletakkan kepakaran seseorang pada bidangnya, misalnya rujukan tokoh tafsir Indonesia pada Buya Hamka dan Qurays Sihab karena beliau berdua adalah seorang mufassir. Tetapi tidak harus setiap mengutip tafsir selalu disandarkan pada beliau.
Nasiruddin al-Albani adalah ahli hadis, tetapi jika kita merasa bahwa derajat hadits yang kita sampaikan belum kuat jika tidak menisbatkan padanya, mengesankan bahwa standar kesahihan hadits berhenti pada Albani, apa lagi selalu dilakukan ketika mengutib hadits.
Selain tuduhan adu domba terhadap tulisan saya, ada juga yang menganggap melemahkan persatuan. Ini juga logika yang ambigu karena kalau logikanya persatuan mestinya tidak perlu membentuk kelompok baru, cukup mengikuti yang sudah ada.
Faktanya mereka yang menamakan diri sebagai kelompok salafi hanya meyakini persatuan akan terjadi ketika bergabung dengan kelompok mereka. Ini merupakan kegagalan berpikir dan menyalahi sunatullah.
Baca sambungan di halaman 2: Etika Berdakwah
Discussion about this post