PWMU.CO – Ketua Dewan Penasehat MUI Prof Dr Din Syamsuddin MA menyatakan, di era globalisasi seperti saat ini, munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang mengglobal, seperti Hizbut Tahrir dari Jordania atau Ikhwanul Muslimin dari Mesir, adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Din mengatakan, gerakan-gerakan seperti itu oleh kalangan tertentu sering disebut sebagai gerakan transnasional. “Tak salah (transnasional itu) sebagai istilah,” kata dia. Manurut Din, kalau istilah itu diasosiasikan pada kelompok tertentu, dalam bentuk pejoratif, maka seolah-olah antinasionalis—yang dalam konteks Indonesia disebut anti-NKRI. “Itu menurut hemat saya kerancuan nalar.”
(Berita terkait: Kekhawatiran Din Syamsuddin terhadap Potensi Perang Dunia Ketiga dan Din Syamsuddin tentang Kitab Suci yang Terkesan Mendua dan Munculnya Perbedaan Paham Keagamaan)
Padahal, tambah Dian, agama-agama itu juga transnasional. “Tidak ada agama yang hanya berkembang di tanah kelahirannya, tak terkecuali agama-agama samawi, Yahudi, Nasrani, dan Islam. Termasuk juga agama-agama yang disebut agama budaya seperti Hindu dan Budha, dengan berbagai variannya,” ungkapnya.
Cuma, jelas Din, agama-agama selain Islam sangat mungkin berkembang banyak sekte-sektenya karena sistem keyakinan atau keimannya terlalu longgar. “Kalau Islam sangat kuat, akidah dan keyakinannya, ada rukun iman, ada rukun Islam. Kalau keluar dari situ akan dianggap keluar dari Islam,” tutur Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 ini.
Din memberi contoh soal Ahmadiyah. “Begitu ada Ahmadiyah yang membawa keyakinan adanya nabi baru selain Nabi Muhammad, maka langsung dianggap sebagai sesat, termasuk oleh Muhammadiyah tahun 1953,” terangnya.
(Berita terkait: Din Syamsuddin: Sebagai Kelompok Tengahan, Muhammadiyah Harus Konsisten Lakukan Pendekatan Dialogis)
Din mengungkapkan, Muhammadiyah pernah memutuskan bahwa barangsiapa yang mengimani ada nabi setelah Nabi Muhammad adalah kafir. “Walaupun tidak menyebutkan Ahmadiyah, sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial,” ujarnya.
Menurut Din, adanya paham-paham keagamaan yang bersifat lintas negara, atau lintas benua tak terelakkan. Apalagi di era globalisasi, sebuah era negara tanpa batas. “Oleh karena itu ormas Islam termasuk Muhammadiyah tak perlu merasa terancam. Dan itulah situasi dunia. Yang paling penting bagaimana kita menghadapinya,” kata Din di hadapan peserta Seminar Pra Tanwir Muhammadiyah yang diselenggarakan di Auditorium BAU UMM, Rabu (22/2) kemarin. (Uzlifah)