Tragedi Sepakbola Kanjuruhan, Mengapa Mesti Terjadi? Oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo. Peraih PWI Jatim Award untuk kategori Tokoh Pers Daerah 2022.
PWMU.CO – Mata dunia saat ini dengan pandangan tajam, nanar dan menyala tertuju ke Indonesia. Tepatnya di Stadion Kanjuruhan yang terletak sekitar 17 kilometer arah selatan Kota Malang. Pasalnya, di sinilah pada hari Sabtu, 1 Oktober 2022 terjadi musibah kubro, tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola dunia. Hampir 200 nyawa melayang, ratusan orang menderita luka-luka, sebagian dalam kondisi kritis menyusul situasi anarkis penonton.
Musibah kubro ini melampaui tragedi terbesar sebelumnya yaitu kerusuhan Stadion Heysel Brussels, 29 Mei 1985 akibat dinding stadion roboh menyusul bentrokan suporter fanatik Liverpool, Inggris dengan Juventus, Italia. Sebanyak 39 nyawa melayang dan 600 luka-luka. Sebanyak 14 suporter dihukum karena pembunuhan.
Musibah kubro Kanjuruhan terjadi dalam pertandingan tuan rumah Arema FC melawan musuh bebubuyutannya, Persebaya Surabaya. Pertandingan ini tidak disaksikan suporter Persebaya untuk mengantisipasi bentrokan seperti yang sudah sering terjadi sejak Arema bermarkas di Stadion Gajayana Kota Malang.
Anarkisme pecah ketika pertandingan berakhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Tiba-tiba penonton seperti banjir bandang dari jebolnya bendungan turun dari tribun membanjiri lapangan hijau. Para pemain, wasit dan kru pertandingan berhasil menyelamatkan diri masuk ke dalam ruang ganti.
Kobaran emosi akibat kekalahan berubah menjadi kepanikan penonton setelah aparat keamanan menyemprotkan gas air mata. Semprotan tidak hanya diarahkan ke arah penonton yang merangsak di lapangan hijau melainkan juga ke arah penonton di tribun.
Secara psikologis semprotan air mata itu membuat orang takut. Karena takut dan berusaha menjauhi otomatis melakukan dengan tergesa-gesa, bahkan berusaha berlari. Soalnya laju semprotan itu mesti lebih cepat daripada langkah kaki. Apalagi kalau nyemprotnya sambil nggeget untu (menggertakkan gigi).
Nah, semprotan gas air mata inilah yang yang menjadi “primadona” sorotan nitizen. Mengapa aparat mesti menggunakan gas air mata? Bukankah itu tidak sesuai dengan aturan otoritas sepak bola dunia (FIFA)? Kita tunggu polisi menjelaskan ke nitizen. Biasanya polisi itu selalu punya jawaban.
Sementara sistem konstruksi tribun itu memang tidak memungkinkan untuk bergerak cepat. Jalannya hanya cukup satu orang berbaris. Orang yang panik, ketakutan dan tergesa-gesa cenderung kehilangan akal sehat. Disertai sesak napas.
Seandainya penonton tidak melebihi kapasitas tribun pun dalam situasi demikian sulit dihindari apalagi jika sampai melebihi kapasitas. Sangat mungkin terjadi saling dorong, saling desak, saling ringsek, tak peduli orang lain jatuh atau sakit. Situasinya seperti gabah diinteri (ditampi).
Sebenarnya varian masalah Stadion Kanjuruhan itu lebih sederhana daripada Heysel. Tidak ada ada bentrokan suporter kedua tim karena Bonek, suporter Persebaya tidak diijinkan menyaksikan pertandingan. Ini mestinya membuat pengamanan jauh lebih ringan. Coba kalau suporter Persebaya diijinkan, pengamanan terbuka dan tertutup sudah harus dilakukan sejak perbatasan Malang sejauh sekitar 50 km.
Dalam kerusuhan ini tidak ada faktor infrasruktur seperti tembok stadion roboh, fasilitas terbakar. Varian utamanya kan suporter Arema merangsak masuk lapangan hijau sesaat pertandingan usai. Modus semacam itu sebenarnya sudah sangat sering terjadi. Bahkan terjadi di saat pertandingan berlangsung.
Selama ini jika terjadi hal demikian tidak terlalu sulit mengatasinya. Jika tokoh-tokoh Arema kultural seperti Ovan Tobing, Suyitno, Edy Rumpoko berteriak di pengeras suara meminta mereka tertib balik ke tribun, biasanya patuh. Eksistensi tokoh kultural itu tidak bisa digantikan pejabat, politisi. Nah, pada saat kejadian Sabtu itu apakah tokoh kultural semacam itu tidak ada?
Musibah kubro sudah terjadi. Dalam kerangka akuntabilitas publik, masalah ini harus diinvestigasi, diselidiki secara menyeluruh. Yang lebih baik, pemerintah membentuk tim independen dari pelbagai elemen masyarakat dan lembaga yang punya otoritas. Dengan begitu lebih membuat masyarakat percaya. Karena saat ini meyakinkan masyarakat itu seperti menjerang air dengan kompor di lantai sementara cereknya di bubungan rumah.
Untuk para korban musibah kubro Stadion Kanjuruhan, saya menyampaikan duka cita yang mendalam. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Rabbi a’lam (Tuhan Maha Tahu).*
Editor Mohammad Nurfatoni