Radikalisme Negara oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Memberi warning atas kemungkinan terjadi sesuatu itu bagus untuk membangun kesadaran atau meningkatkan kewaspadaan. Akan tetapi warning berlebihan yang berbau ancaman justru dapat menjadi teror. Baik teror fisik maupun psikologis. Teror tersebut dapat dilakukan oleh elemen masyarakat. Dapat pula oleh negara.
Moeldoko yang membuat sinyalemen terjadinya peningkatan radikalisme pada tahun politik 2023 dan 2024 adalah berlebihan. Tidak mendidik dan membuat resah masyarakat. Moeldoko menakut-nakuti dan menciptakan teror.
Moeldoko itu teroris atau radikalis. BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) langsung merespon dengan siap melakukan mitigasi. Radikalisme dan politik identitas menjadi hantu politik yang dikembangkan oleh negara.
Menjadi pertanyaan besar. Apakah peristiwa aneh perempuan nyasar ke Istana Negara menodongkan pistol FN ke arah Paspampres menjadi paket hemat dari pernyataan Moeldoko soal radikalisme?
Paket hemat karena modalnya cuma pakaian muslimah dan cadar. Soal senjata FN kan bisa diambil kembali. Entah siapa yang meminjamkan.
Ketakutan rakyat yang diciptakan oleh negara namanya teror negara. Dr Steve Hewitt, Senior Lecturer in American and Canadian Studies, menyatakan terorisme negara adalah agen negara yang melaksanakan kekerasan.
”What is state terrorism? It is similar to non state terrorism in that it involves palitically or ideologically or religiously inspired act of violence against individuals or groups outside of armed conflict. The key difference is that agents of the state are carrying out the violence.”
Sangat besar kemungkinan bahwa pembunuhan aktivis Munir, 6 laskar FPI, dr Sunardi, serta tragedi Kanjuruhan yang melibatkan state actor termasuk dalam state terrorism. Sedangkan pembubaran HTI dan FPI serta kriminalisasi ulama dan tokoh serta aktivis kebangsaan dan keagamaan itu adalah state radicalism.
Demikian juga dengan pernyataan Moeldoko yang menakut-nakuti masyarakat dengan isu peningkatan radikalisme jika bukan terorisme negara, sekurang-kurangnya adalah radikalisme negara. Sayangnya BNPT sering menempatkan diri sebagai agen negara untuk membuat marak atau menciptakan rdikalisme itu sendiri.
Nah peristiwa perempuan dengan pistol FN di depan Istana Negara jangan-jangan menjadi upaya pembenaran dari radikalisme yang tak lain diduga menjadi salah satu bentuk radikalisme negara.
Umat Islam yang dijadikan fitnah dari gerakan radikalisme tersebut. Terorisme, radikalisme, intoleransi, bahkan moderasi menjadikan target dan sasaran pelumpuhannya adalah umat Islam.
Non State Radicalism dan State Radicalism sama-sama harus diwaspadai. Berlakulah adil dan jujur demi bangsa dan negara Republik Indonesia.
Bandung, 27 Oktober 2022
Editor Sugeng Purwanto