PWMU.CO – Para pendiri bangsa Indonesia diwarnai oleh kiprah para tokoh Islam, termasuk Muhammadiyah. Maka perannya tidak bisa dikecilkan. Dan tidak boleh ada yang merasa paling Pancasilais dan Indonesialis. Ketua PP Muhammadiyah Dr HM Busyro Muqoddas SH MHum menyampaikan hal itu dalam acara ‘Seminar Kebangsaan, Pembekalan Mubaligh, dan Sosialisasi Buku Pedoman Pengelolaan Masjid Muhammadiyah’.
Acara yang dihadiri sekitar 600 orang dan berlangsung di Aula STIKES Muhammadiyah Lamongan Selasa (14/3) pagi tadi adalah hasil kerjasama antara Majelis Tabligh dan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan. Selain Busyro, hadir pula Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Dr M Saad Ibrahim.
(Baca: Busyro: Dakwah Islam Itu Tidak Radikal, Apalagi Brutal)
Indonesia saat ini, kata Busyro, sudah terjajah secara ekonomi dan minoritas menjadi penentu arah bangsa. “Umat Islam, mayoritas di negeri ini belum bisa berkutik, bahkan menjadi korban,” tandasnya.
Dalam kesempatan itu Busyro juga menyampaikan bagaimana tokoh Muhammadiyah mewariskan sikap kenegarawanannya dalam berpolitik. “Sikap Ki Bagus Hadikusumo menegaskan karakter etika politik kenegaraan Muhammadiyah tentang nilai-nilai dasar, bentuk, dan tujuan negara. Yaitu Republik Indonesia sebagai negara ber-Pancasila, berbentuk NKRI, dan bertujuan mewujudkan keadilan sosial dengan mengikhlaskan dicoretnya kalimat Piagam Jakarta,” papar Busyro.
(Baca juga: Soal Lahirnya Pancasila 1 Juni, Piagam Jakarta, dan Peran Politik Umat Islam)
Mantan Ketua KPK ini menambahkan, bahwa di antara penyebab persoalan bangsa adalah tata kelola pemerintah yang kurang bagus, ketidakadilan, dan kesenjangan ekonomi, sehingga melahirkan ‘radikalisme’, yaitu jiwa yang selalu menuntut keadilan.
“Bila ada rakyat yang kritis, hendaknya pemerintah tidak mudah mencap teroris, itu hanya sebagai ekspresi cinta kepada negeri Indonesia,” paparnya dengan serius.
(Baca juga: Drama Piagam Jakarta 22 Juni: Berawal Panitia 8, Berakhir di Tangan Panitia 9)
Dia berpesan, seharusnya para pemangku utama kewajiban kenegaraan memiliki modal kejujuran persepsi ideologi kebangsaan ini dan mengimplemantasikannya ke dalam seluruh kebijakan publik kenegaraan.
“Para pemangku di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif tingkat pusat hingga daerah ini, sejak era Orla, Orba, hingga rezim sekarang, terutama di era Orba telah banyak melakukan kesalahpamahaman ideologi kebangsaan. Korupsi dan kebohongan publik serta kesenjangan sosial ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang semakin parah hingga hari ini, adalah wujud nyata krisis ideologi kebangsaan,” ungkapnya.
(Baca juga: Ahmad Dahlan, Cucu KH Ahmad Dahlan yang Gugur dalam Pertempuran Pertahankan Kemerdekaan RI)
Di akhir diskusi Busyro memberikan beberapa catatan kritis, terkait sikap yang akan dilakukan Muhammadiyah, di antaranya: Pertama, memperkaya konsep tafsir tauhid sosial untuk perwujudan model dan praktek pembangunan berbasis daulat rakyat dan daulat bangsa.
Kedua, memertegas wajah dakwah kultural yang responsif terhadap gerakan masif mencegah kesenjangan sosial ekonomi.
(Baca juga: Mengecilkan Peran Umat Islam adalah Pengingkaran Sejarah)
Ketiga, mensistematisasi aktivitas kampus Muhammadiyah dengan aktivitas AUM dan Ortom serta elemen CSO lain sebagai pusat pelaporan, kajian, dan advokasi problem kesenjangan sosial ekonomi untuk di-intervensikan dalam kebijakan-kebijakan negara dan pemerintah yang berbasis nilai-nilai kedaulatan rakyat dan martabat bangsa.
Keempat, memperluas dan memperkuat pandangan Islam moderat yang pro-keadilan sosial melalui pengajian atau pengkajian pimpinan dan anggota secara rutin. “Tema dan narasumber sudah dijadwal dalam tiap semester. Dan makalah dibagikan kepada semua peserta dengan format saku,” ujarnya (Mohamad Su’ud)