Memilih 13 Anggota PWM dengan Metode Burhani, Bayani dan Irfani oleh Hidayatur Rahman, Ketua PDM Kabupaten Blitar.
PWMU.CO– Musywil ke-16 Muhammadiyah Jatim segera digelar di Ponorogo, Sabtu-Ahad, 24-25 Desember 2022. Agenda penting yang perlu dilakukan pembaruan adalah memilih 13 anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM).
Selama ini berlaku calon pimpinan diumumkan mendadak saat menjelang pemilihan. Akibatnya pemilih tidak cukup waktu mengenali track record calon pimpinan mana yang layak untuk PWM.
Pengalaman Muktamar Muhammadiyah di Surakarta yang baru pertama kali saya ikuti membuktikan pengumuman yang mepet itu menjadikan anggota PWM, PDM, dan perwakilan PCM tak punya pengetahuan objektif tentang kompetensi calon. Akibatnya dipilih yang sudah populer.
Memilih pimpinan AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) proses seleksinya panjang. Ada tes dan wawancara untuk mendapatkan orang yang sesuai. Apalagi ini memilih 13 anggota PWM yang mengurus Muhammadiyah se Jawa Timur.
PWM Jatim berasa PP, maka pimpinan harus punya kompetensi dan profesionalitas lengkap ditambah punya waktu.
Punya waktu mengurusi PWM itu penting. Urusan pribadi semestinya sudah selesai. Lha kalau waktu saja masih tergantung orang lain, mana bisa totalitas untuk Muhammadiyah.
Ibarat Tim Bola
Muhammadiyah itu punya aset besar yang harus dikelola dengan baik untuk memajukan dakwah Islam. Maka 13 anggota PWM itu ibarat tim sepakbola. Kalau diisi bintang semua belum tentu menciptakan gol. Jika diisi striker semua bisa-bisa malah rebutan menguasai bola.
Maka dalam PWM harus ada yang posisi menyelamatkan gawang, penyerang kanan dan kiri, memberi umpan, playmaker, ada kapten, dan pelatih.
Kalau ibarat rumah, siapa yang memikirkan fondasi, pilar, dinding, atap sehingga rumah Muhammadiyah jadi bagus dan menarik. Menjadi kunjungan orang, menampung banyak warga, merasa teduh dan aman, serta bisa berkiprah.
Untuk mendapatkan orang-orang yang cocok di posisi PWM harus punya waktu mempelajari biodatanya. Membaca gagasan, usulan, dan pemikirannya.
Produk yang baik itu dihasilkan dari kerja tim beberapa orang dengan posisi berbeda. Misalnya, Zamzam Tower yang megah di depan Masjidil Haram. Kebanyakan orang hanya mengagumi kemegahan menara jamnya. Jarang yang bertanya siapa yang mendesain, bagaimana struktur bangunan, dan fondasinya.
Begitu juga di PWM, kalau ingin mendapat pimpinan sempurna, maka berikan cukup waktu bagi pemilih untuk bertanya siapa calon pimpinan itu sehingga bisa menempatkan sesuai keahliannya.
Panitia Pemilihan harus menyosialisasikan kepada utusan PDM dan PCM siapa saja calonnya, track record, dan gagasannya. Sebab di Musywil tidak ada kampanye maka sosialisasi dari Panlih menjadi penting.
Kalau tidak ada sosialisasi maka utusan PDM dan PCM memilih pemimpin itu ya orang yang sering berkunjung ke tempatnya. Seperti saya dulu beranggapan begitu. Mengira pemimpin Muhammadiyah itu ya yang sering datang ke daerahnya.
Coba ditanyakan kepada kader PRM, PCM, dan PDM apakah banyak mengenal nama-nama yang ditetapkan Panlih sebagai calon pimpinan? Mereka pasti hanya mengenal orang yang sering datang mengisi pengajian di daerahnya atau nama yang populer.
Nama populer tetap diperlukan tetapi orang yang bisa bekerja juga dibutuhkan meskipun tak populer. Nah, sosialisasi itu satu cara supaya orang yang tak populer tapi dibutuhkan bisa dikenal pemilih.
Jangan khawatir Musywil Muhammadiyah jadi ajang berpolitik. Muhammadiyah tidak berpolitik praktis sudah dipahami warganya. Tapi mereka harus mengerti peta politik. Jangan sampai buta politik supaya cerdas memilih.
Wadah Kaderisasi
Model pemilihan tertutup merupakan kegagalan mekanisme pergantian pemimpin. Kegagalan kaderisasi. Karena belum ada wadah untuk memunculkan kader terbaik. Semuanya dibiarkan berjalan alami. Apa anane. Ngglundhung semprong.
Padahal Muhammadiyah berslogan Islam berkemajuan. Kalau tak ada keterbukaan dan inovasi mana bisa disebut berkemajuan. Syarat kemajuan harus ada perubahan. Kalau stagnan, bertahan dengan kemapanan, itu bukan berkemajuan.
Tema muktamar kemarin Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta. Bagaimana cara dan rumusannya untuk mewujudkan tema itu? Orang Muhammadiyah harus maju dan mendapat pencerahan dulu.
Orang bisa maju dan mencerahkan adalah orang-orang yang mau berubah. Tidak bertahan dengan kebiasaan yang mapan padahal sudah tidak sesuai zamannya lagi.
Muhammadiyah itu minoritas di dalam masyarakat yang bermadzhab Syafiiyah. Minoritas bukan berarti lemah. Kalau benar-benar berkemajuan dan mencerahkan maka bisa memengaruhi masyarakat dan kebijakan negara. Seperti kelompok oligarki pengusaha itu. Minoritas tapi menguasai aset, pejabat, dan kebijakan negara.
Di dunia ini banyak negara kecil tapi mampu menguasai negara besar karena pemimpinnya berintegritas, bagus, visioner, punya uang dan teknologi. Pintar memilih orang yang tepat di bidangnya. Coba lihat negara kecil tetangga kita.
Target Jelas
Maka 13 anggota PWM yang dibutuhkan adalah orang yang mampu menjawab tantangan masa depan. Contoh pendidikan. Kita punya sekolah ribuan tapi hanya 28 persen maju. Maka target pemimpin PWM bisa menaikkan lebih dari 50 persen sekolah Muhammadiyah menjadi maju.
Kita punya jaringan rumah sakit harus bisa memajukan dan menjadikan rujukan bagi masyarakat terutama kelas menengah ke atas. Bahkan bisa menjadi pilihan pasien-pasien yang suka berobat keluar negeri.
Kita punya perusahaan dan UMKM, tugas PWM menjadikan bisnis ini berkembang di semua daerah. Melahirkan kelompok saudagar. Bukan hanya pegawai. Kemajuan ekonomi untuk menopang biaya dakwah.
Bidang digital, Muhammadiyah sudah ketinggalan. Pemimpin PWM harus bisa mengejar ketertinggalan itu dengan memberi perhatian khusus. Karena digitalisasi merupakan tuntutan masa depan.
Terakhir saya ingin mengingatkan tentang burhani, bayani, dan irfani yang sering diceramahkan. Mari dipraktikkan di Musywil supaya paham maksudnya. Tiga hal itu adalah metode mencari pengetahuan berlandaskan al-Quran.
Di Musywil diterapkan untuk memilih pemimpin. Burhani melihat tampilan fisik, perilaku, dan pemikiran calon pimpinan. Lalu naik ke tahap bayani. Melihat sisi rasionalitas kebutuhan dan kecocokan dengan akal pikiran dan tradisi Muhammadiyah Jatim. Ditimbang-timbang manfaat dan mudharatnya untuk membuat keputusan.
Tahap berikutnya irfani. Melihat tingkat spiritualitas. Kalau sudah sip maka kita tawakal kepada Allah. Semoga ini pilihan terbaik.
Editor Sugeng Purwanto