Umar bin Khattab dan Gadis Penjual Susu adalah seri ketiga tulisan tentang Khulafaur Rasyidun oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim. Tulisan pertama berjudul Abu Bakar, Tegas dalam Kelembutan. Tulisan kedua: Umar bin Khattab Mercusuar Islam. Seri tulisan Khulafaur Rasyidun terbit tiap Jumat. Redaksi.
PWMU.CO – Setiap kali membaca ayat 26 Surat an-Nur, saya teringat kisah Umar bin Khattab dengan gadis penjual susu. Sebaliknya jika menghadiri akad nikah, saya teringat ayat 26 surat an-Nur itu. Bunyi ayat itu sebagai berikut:
“Para perempuan kotor hanya cocok untuk laki-laki kotor dan laki-laki kotor hanya cocok untuk perempuan kotor. Sedangkan perempuan yang baik terhormat hanya untuk laki-laki baik dan terhormat. Dan laki-laki baik terhormat hanya untuk perempuan baik terhormat. Mereka itu bersih dari yang dituduhkan orang. Mereka dapat ampunan dan rezeki dari yang Maha Mulia”.
Umar bin Khattab adalah khalifah yang sangat sering blusukan malam hari sampai dini hari. Dilakukan diam-diam tanpa pengawal. Dia tidak sedang membangun citra. Dia benar-benar ingin melihat apakah rakyatnya sedang baik-baik saja.
Dini hari itu ada rumah yang lampunya menyala tanda penghuninya sudah bangun. Ketika dia mendekati rumah itu terdengar jelas dialog seorang ibu dengan anak gadisnya. “Susu dari kambing kita kali ini hanya sedikit. Tambahkan air supaya cukup untuk para pelanggan kita”.
Itu tidak boleh, Ibu. Itu dilarang” jawab anak gadisnya
“Siapa yang melarang?”
“Khalifah Bu. Umar bin Khattab.”
“Ah, Khalifah Umar. Mana dia tahu? Paling masih tidur di bawah selimut”
“Khalifah mungkin tidak tahu. Tapi Allah Bu. Allah pasti tahu.”
Umar mendengar dialog di pagi yang hening itu dengan jelas. Diam-diam dia meninggalkan tempat itu dengan mata berkaca-kaca karena haru dan bangga.
“Singkat cerita, terjadilah pernikahan antara Ashim, laki-laki baik yang shalih, anak Umar bin Khattab, dengan gadis penjual susu yang shalihah.”
Ketika pagi hari mulai terang, dia panggil anaknya, Ashim. Umar mengatakan bahwa Ashim sudah waktunya menikah. Ada seorang gadis shalihah. Gadis penjual susu. Lamarlah dia menjadi istrimu. Pasti hidupmu bahagia. Umar belum tahu secara fisik keadaan gadis itu. Cantik atau tidak. Tapi Umar yakin gadis ini akan menjadi pasangan anaknya menuju hidup mulia dan bahagia.
Singkat cerita, terjadilah pernikahan antara Ashim, laki-laki baik yang shalih, anak Umar bin Khattab, dengan gadis penjual susu yang shalihah. Yang menarik ialah apa yang dihasilkan dari pernikahan laki-laki baik dan bersih dengan perempuan baik dan bersih itu? Dari keturunan keduanya muncul anak saleh yang membuat sejarah penting dalam perjalanan Islam. Anak itu ialah Umar bin Abdul Aziz.
Ayat ini turun sebenarnya untuk membersihkan nama Aisyah yang dituduh selingkuh dengan Sofwan. Allah menegaskan tidak mungkin. Dia wanita yang mulia. Jauh dari perilaku yang mereka tuduhkan. Aisyah wanita bersih.
Umar bin Abdul Aziz
Dalam sejarah Islam ada dua nama Umar yang sangat penting. Yaitu Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Ada yang memasukkan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah kelima selain ada empat khalifah terdahulu. Perannya besar sekali untuk menyatukan kembali umat Islam yang terpecah, membersihkan pemerintah yang korup, dan mengembalikan kehidupan penguasa ke dalam kehidupan zuhud.
Siapa Umar bin Abdul Aziz? Dia adalah cucu dari pernikahan Ashim dengan gadis penjual susu. Jadi Umar bin Abdul Aziz masih ada hubungan darah dengan Umar bin Khattab. Inilah buah nyata dari ayat 46 surat an-Nur. Bahwa perempuan mulia hanya untuk laki-laki mulia dan laki-laki mulia hanya untuk perempuan mulia. Akhirnya membuahkan manusia mulia.
Umar bin Abdul Aziz hidup pada masa Dinasti Umaiyah. Dia menjadi khalifah menggantikan pamannya, Khalifah Sulaiman yang menuliskan wasiat sebelum dia meninggal. Wasiat itu ditulis karena Sulaiman melihat banyak sekali keluarganya yang berambisi ingin jadi khalifah. Sedangkan Umar, keponakannya yang cerdas dan cakap justru menghindari kekuasaan. Padahal negara saat itu dalam keadaan buruk. Maka dia pilih Umar yang tidak ada ambisi berkuasa. Sulaiman yakin di tangan Umar nagara akan menjadi baik.
Umar bin Abdul Aziz memerintah tidak lama. Hanya 29 bulan. Tetapi dalam waktu singkat itu dia telah menyelesaikan kekacauan negara.
Umar menangis tersedu-sedu ketika tahu dirinya menerima wasiat itu. Bukan gembira. Ketika orang berduyun-duyun akan memberi baiat dia segera naik mimbar lalu menyatakan bahwa penunjukan dirinya sebagai khalifah dia batalkan. Rakyat bebas memilih khalifah sesuai dengan keinginannya. Tetapi rakyat berteriak minta Umar jangan mundur. Mereka hanya mau berbaiat kepada Umar bin Abdul Aziz. Tidak kepada yang lain.
Umar bin Abdul Aziz memerintah tidak lama. Hanya 29 bulan. Tetapi dalam waktu singkat itu dia telah menyelesaikan kekacauan negara. Korupsi dan penyelewengan keuangan diluruskan. Kondisi negara dalam ekonomi buruk.
Tetapi Umar tidak mau menaikkan pajak. Malah pajak yang mencekik orang kecil dia bebaskan. Sebaliknya harta negara yang dimiliki perorangan, terutama orang-orang dekat istana diambil kembali. Ternyata jumlahnya sangat besar.
Dia juga membenahi sumber informasi. Kebohongan telah membuat rakyat salah persepsi. Maka informasi tidak boleh berisi berita bohong karena itu menyesatkan. Para penyair yang sering menjadi sumber informasi masyarakat diharuskan memberi informasi yang benar.
Keputusan Umar yang monumental dan berdampak luas ialah melarang khatib mencela dan mengutuk Ali bin Abi Thalib dalam setiap khotbah. Muawiyah perintis Dinasti Umaiyah memang menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai musuh utama. Dia tidak mau baiat kepada Ali ketika Ali menjadi khalifah. Dia tanpa bukti menuduh Ali terlibat pembunuhan Usman. Muawiyah bahkan menyerang Ali.
Terjadi pertempuran. Muawiyah nyaris kalah dan segera minta damai. Lalu terjadi penghianatan dalam perundingan damai itu. Pendukung Ali pecah. Muncul kelompok sempalan yaitu Khawarij. Kelompok ini kemudian membunuh Ali Sepeninggal Ali, Muawiyah berkuasa penuh. Ada perintah kepada khatib untuk mencela dan mengutuk Ali. Cara ini untuk melestarikan kebencian masyarakat kepada Ali bin Abi Thalib. Semua khatib di semua masjid mencela Ali karena perintah negara.
Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, semua hinaan kepada Ali bin Abi Thalib harus dihentikan. Sebagai gantinya Umar memerintahkan agar para khatib pada akhir khotbahnya menutup dengan membaca ayat 10 surat al-Hasyr dan surat an-Nahl ayat 90. Bukan mengutuk Ali.
“Umar bin Abdul Aziz telah mengakhiri tradisi yang sangat jelek yang dilakukan para khatib dengan mengganti kalimat-kalimat mulia.”
Surat al-Hasyr ayat 10 itu berbunyi: “Ya Rabbana, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami. Janganlah Engkau tumbuhkan di hati kami rasa dendam terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabbana sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang.”
Ayat 90 surat an-Nahl berbunyi: “Allah memerintahkan berbuat adil, melakukan kebaikan, memberi bantuan kepada sanak kerabat. Dan Dia melarang berbuat keji kemungkaran dan penindasan. Demikian Allah memberi pelajaran agar kamu ingat.”
Dengan adanya larangan ini, maka berhentilah para khatib mencaci maki Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam khotbahnya dan digantikan dengan ayat al-Quran dari dua surat di atas. Sampai sekarang para khatib Jumat, termasuk di negara kita, mengakhiri khotbahnya dengan membaca dua ayat al-Quran itu. Umar bin Abdul Aziz telah mengakhiri tradisi yang sangat jelek yang dilakukan para khatib dengan mengganti kalimat-kalimat mulia.
Keberhasilan Umar bin Abdul Aziz mengatasi berbagai persoalan negara, meluruskan semua yang bengkok, dan hidupnya yang sangat sederhana, zuhud, bahkan menjadi miskin setelah menjadi khalifah, maka banyak pendapat bahwa dia layak masuk dalam deretan khulafaur rasyidun. Khalifah yang kelima setelah empat khalifah terdahulu. Yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni