Musywil dan Dampak Fenomena Calon Paketan; Kolom oleh dr Sholihul Absor MKes, Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Musyawarah Wilayah (Musywil) Ke-16 Muhammadiyah Jawa Timur telah usai. Tidak bisa disangkal, inilah Musywil termeriah dan tersukses yang selama ini dilaksanakan di Jawa Timur. Bahkan Pak Din Syamsudin mengatakan Musywil rasa Muktamar.
Hebatnya lagi, kemeriahan ini tidak ada yang luput dari pantauan atau pemberitaan PWMU.CO—media favorit warga Muhammadiyah. Mulai dari persiapan, penjaringan calon, kepanitiaan, acara-acara pendukung, pembukaan di Alun-Alun Ponorogo beserta agenda acaranya, tokoh tokoh yang hadir, hingga acara puncak pemilihan 13 Anggota PWM Jatim.Semuanya dilengkapi dengan berita dari sudut pandang human interest. Lengkap sudah.
Pendek kata, rasanya baca PWMU.CO saja sudah cukup mewakili kehadiran di Musywil. Hanya atmosphere saja yang tidak bisa dihadirkan, tentu saja. Namun hampir saja ada sudut dinamika Musywil yang terlewat dari pemberitaan. Yakni adanya riak—kalau tidak dibilang gelombang—yang menghadang lajunya prosesi pergantian kepemimpinan di tingkat wilayah.
Adalah seorang alim yang bercerita dan dimuat di PWMU.CO dengan judul Karena Ini Nur Cholis Huda Menangis di Musywil Ponorogo. Tulisan tersebut menceritakan kecemasan Pak Nur di Musywil kali ini yang, menurutnya dari kaca mata medsos kasar dan di luar nalar.
Tapi beritanya nanggung karena tidak diceritakan apa yang dimaksud kasar dan di luar nalar itu.
Lalu Dhimam Abror Djuraid, seorang jurnalis senior, yang mengungkap lebih dalam dinamika Musywil yang terlewat dari pemberitaan melali tulisan berjudul: Sukadiono atau Tidak Suka-Diono. Seolah melengkapi tulisan “Tangisan Pak Nur”.
Dhimam menengarai adanya gejala politisasi Musywil, dilihat dari cara memenangkan kandidat yang tidak sesuai dengan adab dan tradisi Muhammadiyah.
Ada yang mendiskreditkan calon lain yang menjurus pembunuhan karakter bahkan fitnah. Strategi yang digunakan juga mirip dengan gerakan politik seperti membentuk tim sukses yang terorganisasi.
Ada pula yang sampai mendatangkan tokoh untuk meyakinkan agar memilih salah satu calon. Sungguh sebuah ironi di tengah usaha Muhammadiyah meluruskan praktik-praktik kotor di kala pilihan anggota dewan, kepala daerah, hingga kepala negara. Ternyata kita sendiri yang bengkok.
Kelemahan Sistem 13
Pertanyaannya adalah, mengapa hal ini terjadi? Bukankah sistem pilihan dengan memilih 13 orang langsung meminimalkan resiko jual beli suara? Ya, memang tidak ada jual beli suara. Tapi ada kelemahannya, yakni pemilih kesulitan siapa saja yang pantas dipilih dari 64 calon yang ditawarkan.
Jika memilih yang terbaik pasti mudah, setidaknya menurut kacamata pemilih. Tapi jika yang dipilih 13, pada pilihan yang ke-7 ke atas menjadi sulit, siapa saja yang dipilih karena terlalu banyak pilihan.
Nah, di sinilah muncul apa yang dinamakan ‘fenomen paketan’. Sejatinya praktik ini sudah dilakukan di Musywil terdahulu, juga dilakukan di ajang Muktamar.
Diyakini awalnya bertujuan untuk membantu pemilih agar tidak kesulitan memilih. Maka dibuatlah daftar paket pilihan yang terdiri dari 13 calon: “Ini lho satu paket calon terbaik yang pantas dipilih.” Tentu ini sesuatu yang bagus.
Sayangnya, niat yang awalnya baik ini yang terjadi adalah sebaliknya. Daftar paket digunakan untuk menyingkirkan kandidat lain agar tidak terpilih atau tidak mendapat banyak suara. Sangat tidak masuk akal sosok yang sudah menunjukkan kemampuan, loyalitas, integritasnya dalam berjuang di Muhammadiyah harus dicoret dari daftar paket, semata karena takut mengalahkan suaranya, dengan latar belakang isu yang miring.
Fenomena paketan ini memiliki dampak negatif yang luar biasa apabila salah niatnya. Sudah menjadi budaya di Muhammadiyah bahwa jabatan tidak untuk diperebutkan. Akan tetapi dengan munculnya fenomena paketan ini menunjukkan jabatan menjadi sesuatu yang menarik untuk diperebutkan. Mengapa fenomena ini muncul?
Fenomena Calon Paketan
Ada dampak dari fenomena paketan yang patut direnungkan. Dampak paketan di level daerah. Kalau fenomena ini terjadi di Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan PWM tidak masalah, mengingat mereka adalah orang orang yang memiliki kematangan dalam berpikir dan bertindak. Dan tidak ada amal usaha setingkat wilayah yang layak jadi rebutan. Maka tidak heran bila usai Musywil dengan hasilnya, yang semula panas dengan cepat cair kembali.
Namun tidak demikian di level PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah), PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah), bahkan mungkin PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah). Ketika masalah yang berhulu dari paketan saat Musyda (Musyawarah Daerah), Musycab (Musyawarah Cabang), dan Musyran (Musyawarah Ranting) akan berlanjut menjadi perselisihan selama periode kepemimpinan serta merembet ke amal usaha, bahkan seakan tidak bermuara hingga akhir masa jabatan.
Ini terbukti sebagai contoh kasus, pertikaian memperebutkan rumah sakit yang terjadi di awal PDM hasil Musyda tidak bisa terselesaikan hingga akhir periode kepemimpianan. Dan bahkan masalah ini diangkat kembali dalam rapat pleno Musywil kemarin. Di periode PWM sebelumnya pun juga terjadi masalah yang semacam ini.
Perlu digarisbawahi bahwa rumah sakit sendiri sejatinya tidak bermasalah, namun terimbas dari pertikaian ini. Tidak hanya rugi materi, tetapi juga citra rumah sakit menjadi jatuh, termasuk juga marwah Muhammadiyah. Juga menjadi beban psikologis yang menancap di benak karyawan.
Tentu sangat merugikan rumah sakit di tengah tantangan eksternal yang berat yang harus dihadapi. Ini contoh ekstrim. Masih banyak masalah yang timbul dengan berbagai macam derajat keparahannya, dari yang berat hingga yang remeh-temeh yang hulunya berasal dari fenomena paketan.
Saya hanya berharap-harap cemas agar fenomena ini tidak lagi merembet ke Musyda, Musycam, dan Musyran. Oleh karena itu perlu kiranya PWM mewaspadai dan segera mengingatkan sekiranya ada gejala fenomena paketan ini muncul.
Tidak elok rasanya jika organisasi yang mengusung semboyan berkemajuan ternyata dalam proses pergantian kepemimpinan mempraktikkan fenomena yang berkemunduran. Pun bagi MPKUmasalah ini akan menjadi beban berat karena harus ikut menyelesaikan masalah meskipun bukan yang menyebabkan. Seperti orang bilang tidak ikut makan tetapi harus cuci piring. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni