PWMU.CO – Emosi Farah Meytha Aisha tak tertahankan. Air matanya tumpah saat ia didekap ayahnya, Mukhtar Junaidi. Keduanya lalu menangis sesenggukan. Tapi Farah tak sendirian. Pemandangan serupa terjadi juga pada orangtua-anak lainnya.
Begitulah suasana haru biru yang menyelimuti sesi akhir acara Parent Education yang diselenggarakan oleh SD Muhammadiyah Manyar Gresik, Sabtu (25/3) pagi. Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka persiapan menghadapi Ujian Tulis Utama—nama baru Ujian Nasional SD—menghadirkan Bagoes Sanyoto, seorang pakar psikologi anak yang sudah kesohor itu.
(Baca: Ketika PAUD Walidah Gresik Terkejut Mendapat Kunjungan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah)
Di hadapan 70 siswa Kelas VI yang didampingi para orangtuanya, Bagoes sempat menyajikan sebuah film tentang kisah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya.
Ayah itu setiap hari mengantar putrinya ke sekolah dengan motor tuanya. Di depan gerbang, sang Ayah berpesan, “Belajar yang rajin. Hormati guru. Dan berteman baiklah.” Pesan itu tidak disampaikan dengan bahasa verbal, melainkan dengan bahasa isyarat, karena ia tuna wicara.
Sang putri mendengarkan dengan malas dan cemberut sambil berjalan memasuki gerbang. Di sekolah ia dihina temannya karena keterbatasan yang dimiliki ayahnya.
Suatu ketika, sepulang sekolah, putrinya mencoba bunuh diri. Ayah membawanya ke RS dengan panik. Terlintas semua kenangan sejak kecil di mana sang Ayah membesarkannya seorang diri.
Dokter menyampaikan bahwa putrinya mungkin tak tertolong. Sang Ayah meminta untuk mengambil darahnya. Bahkan nyawanya untuk menolong putrinya. Sambil menangis, sambil berteriak, sambil bersimpuh, sambil berusaha mengucapkan kata yang tak kan pernah mampu terucap. Seluruh tim kesehatan di ruangan itu hanya melihat dengan iba.
Usai pemutaran film itu, Bagoes meminta para siswa menghampiri orang tuanya masing-masing. “Sekeras-kerasnya orang tua mendidikmu, masih ada doa di dalamnya. Ingat bahwa hidup itu tidak lurus tapi ada saatnya kita harus berbelok melewati rintangan. Sekarang cari orang tua kalian dan minta maaflah!” pintanya.
Maka berhamburlah anak-anak ke belakang mencari orangtuanya masing-masing. Mereka saling berpelukan, erat–melepas emosi. Maka pecahlah tangis di ruangan itu.
(Baca juga: Berkiprah sebelum Indonesia Merdeka, Guru-Guru Muhammadiyah Dilarang Minder)
Sebelumnya, Bagoes banyak memberi nasehat pada mereka. “Jadilah seperti tanaman. Selama pertumbuhan dan perkembangannya tanpa suara. Lembut dan sederhana. Tapi terus menjulang tinggi tanpa lelah,” tutur Bagoes. Sebua pesan simbolis yang sarat makna.
Sementara itu, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Manyar AH Nurhasan Anwar berpesan agar para orangtua memantau aktivitas putra-putrinya di rumah. “Asupan gizi yang terjaga agar saat Ujian Tulis Utama tidak sakit. Aktivitas bermain dikontrol juga agar tidak melebihi waktu aktivitas belajar,” ujarnya. “Belajarlah dengan sungguh-sungguh seolah-olah ujian sudah besok.” (Ria Eka Lestari)