PWMU.CO– Siaran di Radio Suara Surabaya (SS) dalam program Lazuardi, Wakil Rektor 4 UMSurabaya Dr Mundakir MKes mengupas tentang makna harapan.
”Seseorang hendaknya punya harapan tinggi disertai dengan pegangan mental yang bagus, positive thinking, dan pedoman agama,” kata Dr Mundakir, Wakil Rektor 4 Universitas Muhammadiyah Surabaya Bidang Kerja sama, Al-Islam Kemuhammadiyahan dan Digitalisasi, saat siaran di Radio Suara Surabaya, Kamis (12/1/2023).
Siaran di Radio SS mengupas tema Saat Tidak Sesuai Kenyataan, Ada Harapan. Mundakir menjelaskan, harapan menjadi pelita, meski situasi tengah gelap gulita. Harapan membuat seseorang tidak terlena dengan kekecewaan dan keterpurukan. Tidak menyerah dengan keadaan.
Dia mengingatkan, harapan yang ideal itu realistis, terencana, dan terukur. Realistis artinya tetap berpijak pada kenyataan, sambil mengukur kekuatan dan probabilitas atas ketercapaian. Terencana, artinya ada desain yang hendak dicapai. Terukur berarti ada langkah-langkah yang bisa dicermati dan dipantau perkembangannya.
Harapan yang bagus seiring dengan proses yang bagus, tidak dicapai dengan singkat dan instan. Mundakir teringat pesan Mochtar Riady, Ketua Lippo Group, kepada anaknya. ”Apa yang didapat cepat, akan cepat hilangnya.”
Kalau harapan tidak tercapai, sambung dia, sebaiknya tidak tergiur dengan hal instan. Jika harapan tidak sesuai kenyataan, segera introspeksi diri, gunakan pendekatan agama, serta latihlah diri untuk bersabar atas proses.
Islam dan Harapan
Dia menjelaskan, diksi ’harapan” menurut al-Quran. Bisa dilacak dalam dua redaksi, yakni ṭama‛ (طمع) dalam surat ar-Ra‛d: 12 dan surat ar-Rūm: 24, serta diksi al-amal (الأمل) dalam al-Kahfi: 46 dan al-Ḥijr:30. Allah berfirman:
هُوَ الَّذِيْ يُرِيْكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَّطَمَعًا وَّيُنْشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَۚ ١٢
Dialah yang memperlihatkan kepadamu kilat (untuk menimbulkan) ketakutan dan harapan (akan turun hujan) serta menjadikan awan yang berat (mendung).
Sementara di al-Kahfi, Allah berfirman:
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا ٤٦
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya)adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
”Beberapa kalangan, seringkali menyandingkan kata khauf (ketakutan) dengan rajā’ (harapan). Namun di al-Quran, Allah menggunakan diksi ṭama‛, bukan rajā’, saat disandingkan dengan khauf. Jika merunut pada kajian kebahasaan, ṭama‛ memang punya kesamaan arti dengan rajā’, bahkan juga dengan amal (أمل),” ujarnya.
Namun masalahnya, sambung dia, ternyata kata ṭama’ cenderung ke arti yang negatif. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyerap tamak untuk arti selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri; serakah.”
Al-Rāghib, salah satu retoris dan sastawan Islam, mengartikan al-ṭama‛ sebagai nuzū‛ al-nafs ilā al-syai’ syahwatan lahū, kecenderungan jiwa pada sesuatu atas dasar syahwat kepadanya.
Hal inilah yang mengakibatkan dalam konteks Islam, seringkali harapan terasosiasikan dengan hal yang negatif. Terlebih, jika konteks penerjemahan harapan disamakan dengan angan-angan. Diksi al-amal di atas, dalam beberapa riwayat hadis pun tersampaikan dengan nada yang kurang terpuji.
Tinjauan Hadits
Dalam hadis riwayat al-Bukhari, misalnya, Rasulullah bersabda:
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الأَمَلِ
Hati orang yang sudah tua akan senantiasa seperti anak muda dalam menyikapi dua hal: cinta dunia dan panjang angan-angan.
”Kata al-amal di sana merupakan angan-angan, yang bahkan tidak realistis. Sebuah harapan kosong yang tak terukur. Oleh karena itulah, al-amal yang diterjemahkan sebagai angan-angan dan harapan, dalam Islam seringkali dikonotasikan dengan hal yang negatif,” katanya.
Padahal, tidak semua angan-angan buruk, tidak semua harapan hanya sekadar harapan kosong yang penuh lamunan. Maka penting menghadirkan makna hadits di atas, salah satunya dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Juz.11 hal. 237 saat mengomentari makna hadis di atas, Ibnu Hajar berkata:
وَاِنَّمَا اْلمَذْمُوْمُ مِنْهُ اَلْاِسْتِرْسَالُ فِيْهِ وَعَدَمُ اْلاِسْتِعْدَادِ لِاَمْرِ اْلآخِرَةِ فَمَنْ سَلِمَ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يُكَلَّفْ بِإِزَالَتِهِ
”Yang dicela dari hadis tersebut (tentang panjang angan/ harapan) adalah seseorang terlena dengan harapan dan tidak ada persiapan untuk urusan akhirat. Jika seseorang terbebas dari itu, maka sesungguhnya dia tidak harus menghilangkan al-amal (angan/ harapan) tersebut”.
Mundakir menegaskan lagi bahwa hidup itu butuh harapan, tapi tetap butuh pendekatan agama. Kesadaran pada ajal di depan mata, misalnya, mampu membuat harapan yang kita langitkan, menjadi tidak terlalu ”panjang angan, panjang harapan”.
Andaikan pun kita masih punya harapan, dalam Islam, merawat harapan harus dilandasi dengan kebaikan, dan untuk menjadi manusia yang berorientasi pada sisi ukhrawi. Oleh karena itulah, saat merespons ayat al-Ḥajr:30 yang terdapat diksi wa yulhihim al-amal” (dilalaikan oleh angan/ harapan semu), sahabat Ali berkata :
فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ ، وَلاَ حِسَابَ وَغَدًا حِسَابٌ ، وَلاَ عَمَلَ
”Jadilah kalian anak-anak akhirat, jangan jadi anak-anak duniawi. Karena hari ini (di dunia) yang ada adalah beramal, tidak ada hisab (perhitungan). Sementara esok hari (di akhirat), yang ada adalah hisab, tidak ada amal.”
Penulis Mohammad Ikhwanuddin Editor Sugeng Purwanto