Moh. Sulthon Amien
Kiat Meraih Sakinah Mawaddah wa Rahmah dalam Berkeluarga, merupakan bagian ke-11 dari buku Spiritualitas Pernikahan – Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien. Seri ke-10 sebelumnya: Mengapa Pernikahan Disebut Mitsaqan Ghalizha, Sejajar dengan Perjanjian Tuhan Dengan Nabi, menjadi viral.
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ketua Dewan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya, dan Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.
PWMU.CO – “Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, supaya kamu tenang kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu mawaddah dan rahmat. Sesungguhya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum 21)
Kata samawa menjadi akrab akhir-akhir ini. Akronim dari sakinah mawaddah, wa rahmah ini biasanya dijadikan doa yang diucapkan kala sejoli menempuh kehidupan baru dalam pernikahan.
Keluarga samawa adalah keluarga ideal yang bersendikan ajaran wahyu Ilahi dan Sunah Rasul. Cita-cita semacam itu menjadi dambaan setiap Mukmin. Tidak ada teladan yang lebih baik dalam berumah tangga yang bahagia dan sukses dunia akhirat selain dari Rasulullah Muhammad SAW.
Sakinah
Kata taskunu terambil dari kata sakana yang berarti diam, tenang. Antonimnya adalah guncang dan sibuk. Dari sini, rumah dinamai sakan karena ia tempat memperoleh ketenangan. Sebelumnya, pasangan ‘sibuk’ di luar rumah. Perkawinan melahirkan ketenteraman batin, kedamaian hati, dan kebahagian dalam menapaki kehidupan.
Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya setiap orang dengan pasangannya. Dia akan merasa gelisah dan jiwanya berkobar, jika penggabungan dan kebersamaan dengan pasangan tidak terpenuhi. Karena itu, Allah mensyariatkan perkawinan agar gejolak jiwa itu mereda dan masing-masing memperoleh ketentraman (Shihab, 6).
Rumahku Surgaku
Dari rumah awal kebahagian diukir. Memahat itu tidak mudah. Namun demikian, dengan kesadaran, kesabaran, dan pengorbanan yang tulus, hal itu akan dicapai. Start-nya, mendesain griya secara maksimal dan memaknainya seluas mungkin.
Arti sebuah rumah idaman senantiasa berkembang seiring perjalanan hidup manusia. Fungsinya tidak sekadar sebagai alamat, tempat tinggal, domisili, kediaman, dan seterusnya. Rumah telah bertumbuh menjadi berbagai penyempurna kebutuhan yang vital.
Di antaranya sebagai madrasah, tempat saling belajar antara suami dan istri, menyelami kelebihan dan menambal kekurangan. Bersemi mengasah kesepahaman berkeluarga pada tataran arti sebenarnya. Pada dasarnya, berkeluarga adalah media belajar menapaki hidup. Saling mengisi, menerima, dan memberi nilai-nilai kemuliaan.
Dinamai juga sebagai area rekreasi, ruang menyegarkan kembali jasmani rohani. Tempat meredakan kepenatan sekaligus memunculkan pikiran dan ide-ide baru nan kreatif. Rumah juga menjadi tempat lahirnya pikiran positif. Rahim bagi anak bangsa yang memiliki visi ke depan merajut karya dan ikut berkontribusi menuliskan sejarah kehidupan yang penuh pengorbanan.
Setiap bilik menjadi mushala. Hamparan sajadah digelar tempat bersujud mengabdi keharibaan Ilahi Rabbi. Bertasbih menghabiskan sepertiga malam, merajuk, berkontemplasi, bersimpuh, mengaduh perjalanan berkeluarga yang sarat misteri. Memadu kasih di bawah naungan langit, wujud manifestasi ibadah. Buahnya kerinduan akan pengabdian. Karena hidup adalah menghamba titah Sang Pencipta.
Rumah juga tempat menyemai generasi. Anggota keluarga benar-benar merasa di rumah betulan, at home. Ladang menanam nilai untuk sang buah hati. Kala orang tua adalah role model bagi anak-anaknya, anggota keluarga merasa nyaman di rumah. Merasakan tinggal dirumah bak istana. Penghuni hanya keluar ketika ada keperluan penting saja, selebihnya hanya di rumah. Wadah mereka kembali pulang, kembali ke induknya. Bak anak-anak ayam berlindung di bawah kepak sayapnya.
Arena bermain bagi anak-anak. Memberi ruang menuntaskan masa kecil yang bahagia. Menumbuhkembangkan menuju kedewasaannya. Kaya akan pembelajaran edukatif praktis. Mengasah kemandirian, tanggung jawab, dedikasi, kerja bareng, bersih dan rapi dan lainnya sejak dini.
Rumah sebagai last battle, pertahanan terakhir keluarga. Rumah jebol, pertanda masyarakat akan runtuh. Kita turut prihatin dengan anak-anak yang tumbuh besar di jalanan yang keras dan minim pendidikan moral. Nilai yang ada hanyalah yang kuat yang berkuasa dan yang lemah dijajah habis. Keluarga yang broken home memicu penghuninya menjadi liar dan terbawa ke lingkungan yang semau gue. Mereka tercerabut dari pondasi kemanusiaannya.
Sebagai pertahanan terakhir, rumah menjadi harapan bangsa. Dari rumah, anak negeri dipersiapkan psikis dan fisiknya. Dari rumah, mereka ditempa kepribadiannya. Dari rumah pula hakikat belajar sesungguhnya diajarkan.
Belajar dari pandemi Covid kemarin, sebenarnya Tuhan mengajari orang tua, bahwa tanggung jawab pendidikan sepenuhnya di tangannya. Guru di sekolah tidak lebih hanya kepanjangan tangan saja. Pembentukan akhlaqul karimah adalah domen orang tua. Seperti halnya para nabi mendidik langsung para pewarisnya.
Mawaddah
Mawaddah berasal dari kata wadada artinya cinta. Al Wadud, salah satu nama Allah SWTdalam asma’ul husna berasal dari akar kata yang sama dengan wadada, artinya cinta yang banyak. Dalam sebuah hadits Rasul bersabda, “Tawwaju al-waddud wal-walud,” artinya, “Nikahilah orang yang banyak cintanya dan banyak anak.”
Secara alami, seseorang tertarik kepada lawan jenisnya mulamula melalui pertimbangan jasmaniah. Jatuh cinta dalam fase ini dalam bahasa Arab disebut mahabbah, yang merupakan tingkat permulaan atau paling rendah (primitif) dari proses hubungan pria dan wanita.
Psikolog Sigmund Freud menengarai ketertarikan ini berkait dengan libido, muaranya banyak berurusan dengan hasrat pemenuhan kebutuhan biologis. Meminjam bahasa agresifnya, naluri penyaluran seksualitas telah terpenuhi.
Dari Mahabbah ke Mawaddah
Tingkat yang lebih tinggi ialah ketertarikan seseorang berdasarkan pada hal-hal yang lebih abstrak, misalnya segi kepribadian atau nilai lainnya yang terdapat pada seseorang. Cinta-kasih antarjenis pada tingkat yang lebih tinggi ini disebut mawaddah.
Sebagai tingkatan yang lebih luhur, mawaddah umumnya berpotensi untuk bertahan lebih kuat dan lama karena memiliki unsur kesejatian yang lebih mendalam, sehingga juga dapat memberi rasa bahagia yang lebih agung daripada mahabbah. Pada tingkat ini, segi lahiriah sasaran cinta tidak lagi terlalu banyak menjadi pertimbangan. Kualitas kepribadiannya adalah lebih penting baginya dan lebih utama daripada penampakan fisiknya.
Seorang hamba yang merefleksikan sifat wadud Ilahi tergambar ketika dia sudah sedemikian rupa sejak pagi sampai larut malam beribadah dan beramal salih di muka bumi ini. Namun demikian, dia dalam doanya tetap mengaku betapa minimnya waktu dan energi yang dipersembahkan untuk Rabb-nya.
Maka, cerminan seorang suami yang mawaddah adalah analog dengan gambaran sifat Ilahidi atas. Meskipun waktu, tenaga, dan harta telah tercurahkan untuk sang istri tercinta, dalam pengakuannya dia belum bisa berbuat banyak untuk membangun jalinan cintanya. Demikian pun sebaliknya, seorang istri terhadap suami tersayang apabila mempunyai sifat mawaddah tampak seperti ilustrasi tersebut.
Rahmah
M. Quraish Shihab (2007) dalam Pengantin Al-Quran, menggambarkan rahmah sebagai kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan melakukan pemberdayaan. Karena itu, dalam kehidupan keluarga masing-masing, suami dan istri, akan sungguh-sungguh, bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.
Pemberian Allah telah banyak dirasakan umat manusia, sampai untuk menghitungnya saja tak mampu, betapa luas dan luar biasa jumlahnya. Namun, kata Allah pemberian-Ku itu sangat sedikit, belum seberapa, jika dibandingkan dengan nikmat yang masih ditinggal akan dinikmati untuk hamba-hamba-Nya yang salihin di yaumul akhirah nanti.
Allah mempunyai seratus rahmat. Yang diturunkan di dunia ini baru satu. Termasuk mengapa kuda tidak mau menginjak bayinya yang masih kecil, ya, karena rahmat Ilahi yang satu tadi. Sedangkan yang sembilan puluh sembilan masih ditahan untuk di akhirat kelak.
Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, dan tidak mudah cemburu. Pemiliknya tidak angkuh, tidak juga pemarah, apalagi pendendam. la menutupi segala sesuatu dan sabar menanggung segalanya.
Mengapa al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan? Agaknya betapa pun hebatnya seseorang, dia pasti mempunyai kelemahan. Dan betapapun lemahnya seseorang pasti juga ada unsur kekuatannya.
Suami dan istri tidak luput dari hal demikian. Sehingga mereka harus saling melengkapi. Di samping itu, bisa jadi potensi mawaddah yang diciptakan Allah pada diri setiap suami belum terasah dengan baik, sehingga belum mencapai tingkatan dapat menjamin kelanggengan hubungan harmonis. Bisa jadi ada unsur lain, katakanlah kelahiran anak-anak, yang menjadikan mawaddah mengalami erosi. Di sinilah faktor rahmah berperan.
Rahmah yang menghiasi jiwa seseorang mampu membendung keinginan dan kebutuhan yang berpotensi menyakiti pasangannya. Seorang suami mungkin mendambakan anak, tetapi istrinya mandul atau bisa jadi dorongan seksual suami tidak terpenuhi melalui seorang istri, yang menjadikannya terdorong untuk berpoligami, tetapi dia menyadari bahwa hal tersebut akan menyakitkan istrinya, maka rahmat yang menghiasi dirinya terhadap istrinya akan membendung keinginan tersebut.
Ketika itu suami akan berkorban demi cinta dan kasihnya kepada istrinya. Demikian juga dapat terjadi terhadap istri. Dia akan merasakan kepedihan karena kebutuhan suami atau keinginannya yang tidak terpenuhi, sehingga rahmat yang terhunjam dalam jiwanya akan mengundangnya berkorban dan mengizinkan sang suami untuk meraih dambaan dan keinginannya. Di sinilah teruji cinta dan rahmat itu.
Dari tingkat mawaddah, suatu hubungan tarik-menarik antara dua jenis manusia dapat mencapai jenjang yang lebih mulia, yaitu rahmah. Rahmah adalah jenis kecintaan llahi karena bersumber dan berpangkal dari sifat Tuhan yang Rahman dan Rahim. Maka sama dengan pesan Nabi dalam sebuah hadis agar manusia berusaha meniru akhlak Allah, hubungan saling cinta antara dua orang manusia lain jenis dapat mencapai kualitas kecintaan yang tidak terbatas, yang serba meliputi, murni, dan sejati (Rachman, 2007).
Editor Mohammad Nurfatoni