Gresik – Dalam demokrasi, aspirasi masyarakat seharusnya menjadi acuan prioritas dalam penentuan kebijakan dan regulasi. Namun sayangnya dalam tataran operasional, demokrasi yang terjadi terlalu mengutamakan kepentingan pemodal dan meminggirkan aspirasi masyarakat. Demikian salah satu petikan kesimpulan dalam Diskusi Politik Rakerda II yang digelar Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Gresik Sabtu (8/4) di Aula Unmuh Gresik.
Hadir sebagai narasumber adalah Khamsun ketua DPD PAN, Andi Fajar wakil ketua bidang Hukum HAM DPD II Golkar, dan Fahrizal MK ketua DPD PKS Gresik. Menurut Khamsun, Pemerintah Kabupaten Gresik perlu meniru apa yang dilakukan oleh Pemkab Bojonegoro. “Kang Yoto (Suyoto Bupati Bojonegoro-red) mewujudkan pemerintahan terbuka, banyak saluran komunikasi antara warga dan pemerintah sehingga aspirasi warga bisa terdengar sekaligus sebagai cross cek keterlaksanaan program. Bahkan tiap Jum’at Bupati Bojonegoro bertemu dengan warga di Pendopo Kabupaten,” ujar ketua partai yang menjadi korban bom molotov ini.
Khamsun juga mengkritik mental sebagian pemimpin yang merasa sebagai penguasa. “Jika mentalnya adalah penguasa, maka inginnya akan cenderung menguasai. Tidak cukup memimpin bermodal akal, karena akan mengakali, tidak cukup dengan otak karena akan mengotak-atik, namun memimpinlah dengan hati karena akan berhati-hati, memimpinlah dengan jiwa agar bisa menjiwai,” lanjut mantan Bendahara PDPM Gresik ini.
Senada dengan Khamsun, Fahrizal ketua DPD PKS Gresik juga mengkritik demokrasi yang prosedural. “Partai politik sendiri kurang menyiapkan kader, sehingga proses legislasi juga kurang berjalan baik. Padahal dalam demokrasi itu penting melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan baik oleh legislatif maupun eksekutif,” ujar Fahrizal. Fahrizal juga menyoroti persoalan kepemimpinan yang sering terjebak dalam kontrak politik pragmatis saat pemenangan pilkada. “Bahkan sebelum mereka terpilih itu program sudah dibuat plus anggarannya, maka tentu aspirasi masyarakat menjadi sulit masuk,” lanjut Fahrizal yang juga pernah aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM, kini menjadi IPM) itu.
Sedangkan Andi Fajar wakil ketua DPD II Golkar bidang Hukum HAM menganggap bahwa kasus di Gresik terjadi komunikasi yang buntu dengan pemerintah. “Harusnya ada wadah dan corong bagi masyarakat sehingga mereka punya kesempatan menyampaikan aspirasi secara langsung. Dan bagi saya para legislator itu melakukan semacam malpraktik sehingga hasilnya kurang baik,” ujarnya.[af]