Produktif Berkarya karena Titip Nama; Oleh: M. Arfan Mu’ammar Dosen Pascasarjana UMSurabaya dan Majelis Pengurus ICMI Orwil Jatim.
PWMU.CO – Di tulisan sebelumnya, Joki dan Dilema Kebijakan Publikasi Ilmiah, saya menjelaskan tentang data ketidakselarasan antara meningkatnya publikasi ilmiah dengan menurunnya minat baca di Indonesia. Asumsi saya dalam tulisan tersebut karena adanya praktek perjokian di perguruan tinggi.
Dalam tulisan ini, saya memberikan asumsi kedua bahwa, ketidakselarasan data tersebut karena merebaknya budaya titip nama di kalangan akademisi.
Budaya titip nama tersebut sudah sangat biasa dan lumrah di perguruan tinggi. Pernah suatu ketika seorang guru besar menyampaikan dalam sebuah forum, bahwa dalam setahun ini (waktu itu tahun 2022) ia sudah mempublikasikan enam artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi, antara Q1 sampai Q3.
Tepuk tangan peserta pun bergemuruh. Bagaimana tidak, jangankan untuk mempublikasikan enam artikel, untuk mempublikasikan satu artikel di jurnal internasional bereputasi itu sangat sulit, apalagi di Q1 dan Q2.
Guru besar tersebut lantas menjelaskan, bahwa enam artikel tersebut adalah hasil penelitian mahasiswa doktoral yang kebetulan dibimbing olehnya. Maka secara spontan dalam hati saya katakan: “Owalah, pantesan!”
Apakah praktik tersebut dapat dibenarkan? Jika melihat alasan pencantuman nama promotor di artikel mahasiswa S3, maka sah-sah saja. Karena promotor punya andil besar dalam memberikan kontribusi pemikiran dalam penelitian mahasiswa doktoral tersebut. Sebagaimana yang saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, bahwa kontribusi intelektual yang dibenarkan, bukan kontribusi uang.
Biasanya artikel ilmiah yang diterbitkan adalah beberapa variabel dalam disertasi yang ditulis mahasiswa S3. Dan tentu promotor pertama serta kedua masuk sebagai penulis kedua dan ketiga.
Namun masalahnya, pencantuman nama itu tidak hanya berlaku pada penelitian disertasi dan tesis. Tetapi para dosen saat ini, khususnya pengajar S3, mewajibkan mahasiswa untuk mempublikasikan artikelnya di jurnal ilmiah sebagai sebuah tugas dalam mata kuliah, dan memasukkan nama dosen pengampu pada setiap artikel mahasiswa.
Bayangkan jika dalam satu kelas ada 15 mahasiswa, maka dalam satu semester dosen tersebut memiliki 15 publikasi artikel ilmiah, itu baru satu kelas. Sedangkan dosen tidak mungkin mengajar cuma satu kelas, minimal 8 sks, kalau satu mata kuliah dua SKS, maka ada empat kelas yang diajar setiap semester. Jika setiap kelas ada 15 mahasiswa, maka 15 x 4 = 60 publikasi ilmiah dalam satu semester. Dalam setahun ada 120 publikasi ilmiah. Wow!
Tapi apakah 60 atau 120 publikasi itu dosen memiliki kontribusi pemikiran di setiap publikasinya? Saya rasa tidak. Yang ada hanya asal titip nama, jika sudah ada publikasi walaupun penulis kedua, maka beban kerja dosen (BKD) setidaknya sudah aman, tidak perlu mikir publikasi lagi.
Saya sering didatangi beberapa guru besar, menanyakan apakah tidak sedang akan publikasi? Karena mereka tahu saya senang menulis dan banyak publikasi. Saya jawab, “Ini sedang menyelesaikan satu artikel Prof.” Guru besar itu langsung menimpali: “Kalau sudah jadi saya titip nama ya!”
Titip nama juga bisa melalui kesepakatan antarteman. Misal dosen A aktif publikasi dan dosen B juga aktif publikasi. Dosen A mengatakan kepada dosen B, “Kalau kamu mau publikasi tolong masukkan nama saya di penulis kedua, dan nanti kalau saya publikasi, kamu saya masukkan di penulis kedua artikel saya.”
Lantas apakah ketika dosen B dicantumkan di artikel dosen A, berarti dosen B memiliki kontribusi intelektual di dalamnya? Begitu juga apakah ketika dosen A dicantumkan di artikel dosen B, berarti dosen A memiliki kontribusi intelektual di dalamnya?
Jawabannya saya rasa tidak. Karena itu sudah kesepakatan untuk meningkatkan peringkat publikasi bukan kolaborasi penelitian dalam arti yang sesungguhnya.
Budaya titip nama baik melalui pembimbingan disertasi, tesis, skripsi, atau melalui mata kuliah yang diampu atau melalui kesepakatan antar teman, sudah sangat biasa. Dan tiga budaya itu tidak menjamin seseorang melakukan proses pembacaan literatur yang mendalam, karena memang hanya titip.
Maka jangan heran, jika peringkat publikasi ilmiah Indonesia meningkat drastis, namun minat membacanya masih nyaman di urutan bawah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni