Jaga Ikatan Jangan sampai Memudar, Refleksi Milad Ke-59 IMM; Oleh Abdullah Sidiq Notonegoro, Alumnus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
PWMU.CO – 59 tahun silam, tepatnya pada 14 Maret 1964 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) berdiri secara lokalistik di Yogyakarta. Kelahiran IMM mempunyai dimensi sejarah tersendiri yang tetap menarik menjadi perbincangan.
Pelopor kelahiran IMM adalah Djasman al-Kindi, Rosyad Sholeh, dan Soedibyo Markoes. Dikatakan mempunyai dimensi kesejarahan, karena lahirnya IMM merupakan respon atas bebagai persoalan keumatan dalam sejarah bangsa kala itu. Karena itu, Farid Fathoni (1990) menyebutnya bahwa kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah keharusan sejarah.
Pada perjalanan awal, kelahiran IMM menjadi persoalan tersendiri. Maka tak mengherankan jika buku tentang sejarah kelahiran IMM yang di tulis oleh Farid Fathoni diberi label Kelahiran yang Dipersoalkan (1990). Buku tersebut terbit untuk kali pertama saat penulis baru awal masuk menjadi kader IMM di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Buku tersebut banyak mengungkap berbagai persoalan krusial terkait kelahiran IMM, di antaranya ialah “kelahiran yang tidak diinginkan” serta “upaya penghilangan eksistensi gerakan IMM”.
Belajar dari sejarah kelahirannya, dapat dipahami bahwa IMM tidak lahir secara biasa-biasa saja. Kelahiran IMM penuh dengan perjuangan, dan perjuangan tersebut penuh dengan tantangan. Tantangan yang dihadapi dalam proses kelahirannya tidak hanya muncul dari luar, namun juga internal Persyarikatan. Hal tersebut bisa dipahami, sebelum gerakan mahasiswa Muhammadiyah yang bernama IMM ini lahir, telah ada sejumlah tokoh Muhammadiyah yang tergabung dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan-kepemudaan yang ada terlebih dahulu.
Bukan Ortom Biasa
Berangkat dari sejarah “yang dipersoalkan dan tidak diinginkan” itulah, muncullah kader-kader militan IMM yang bertekad menegaskan bahwa kelahiran IMM merupakan keniscayaan sejarah dan sekaligus kebutuhan Persyarikatan Muhammadiyah dalam menjaga gerak nafasnya di masa depan. Maka tidak ada alasan yang lebih utama bagi kader IMM selain menjadi pengawal garda depan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan.
Kader militan IMM bukanlah aktivis mahasiswa biasa, yang bergabung IMM sekadar untuk mengisi waktu senggang atau semata-mata mencari batu lompatan. Kader sejati IMM tidak akan pernah lelah dalam merawat idealisme dan sekaligus ideologisnya sebagai kader pelopor, pelangsung, dan penyempurna Persyarikatan Muhammadiyah.
Anggota IMM yang murni mahasiswa merupakan modal dasar yang sangat potensial dan istimewa. Di akui atau tidak, masa depan persyarikatan, umat dan bangsa tidak dapat dipisahkan dari kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas pula. Hingga saat ini, paling tidak dalam konteks keindonesiaan, mahasiswa masih menjadi tumpuhan untuk menjadi pewaris dan pemegang estafet amanah di masa depan.
Karena itulah, masih cukup patut jika saya menyebut IMM menjadi ortom Muhammadiyah yang tidak biasa-biasa saja, namun luar biasa. Perguruan tingi Muhammadiyah (PTM) sebagai amal usaha Muhammadiyah (AUM) di dunia akademis tentu punya kepentingan untuk mereproduksi kader Persyarikatan melalui IMM. Kepentingan tersebut berkelindan sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap persyarikatan itu sendiri. Maka, jika ada pengelola PTM yang justru ‘bekerja keras’ mengebiri perkembangan IMM di PTM-nya, dapat dipastikan pengelola tersebut tidak mengenal Muhammadiyah secara utuh. Sebaliknya, bisa jadi merupakan benalu bagi Muhammadiyah.
Merawat Ikatan
Kompetensi dasar IMM yang sangat populer di telinga kader merupakan ‘mantra’ yang tidak sekadar dihafalkan atau diucapkan. Tetapi merupakan nilai dasar kompetensi yang harus diterjemahkan dalam ruang praksis yang nyata. Religiusitas merupakan roh utama kehidupan kader IMM. Religiusitas yang bisa dimaknai secara sederhana sebagai implementasi jiwa keberagamaan yang bervisi rahmatan lil alamin. Kader IMM harus mampu menampilkan nilai-nilai moderasi dalam beragama, dengan kemampuan merawat nilai-nilai toleransi yang baik.
Religiusitas personal yang mewujud dalam ketaatan dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan secara konsisten merupakan pencirian yang khas bagi kader IMM. Tidaklah patut disebut sebagai kader IMM jika aspek peribadatan mahdla-nya masih belang-belang. Selanjutnya religiusitas sosialnya sebagai aktualisasi dari religiusitas personalnya. Semangat al-Maun sebagai perwujudan dari religiusitas sosial patut menjadi nafas gerak dinamika IMM.
Religiusitas IMM bukan religiusitas tanpa makna. Kompetensi keintelektualan atau keilmuan menjadi keniscayaan bagi kader IMM untuk dapat menempatkan diri sebagai kader yang khas. Sebagai insan akademis (baca: mahasiswa), sungguh hal yang sangat musykil jika tidak berupaya untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya. Religiusitas tanpa intelektualitas hanya akan menciptakan fanatisme buta yang tidak berdaya guna bagi kehidupan.
Kader IMM harus berupaya untuk mampu merebut peran-peran keintelektualan tersebut. Setiap gerak langkah gerakan IMM harus memilik landasan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Dinamika gerakan IMM tidak melenceng dari nilai-nilai akademikusnya. Sebagai kaum akademisi, kader IMM patut memiliki pemikiran yang kritis, inklusif, obyektif, dan progresif.
Selanjutnya, selain kompetensi religiusitas dan intelektualitas, tidak kalah pentingnya ialah kekuatan humanitas. Humanitas merupakan penterjemahan dari religiusitas dan intelektualitas dalam rana moral. Maka nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi harus menjadi pegangan utama kader-kader IMM.
Pada milad yang ke-59 ini, semoga IMM tetap terjaga kekuatan religiusitas, intelektual, dan humanitasnya. Harapan itu tentu tak akan menjadi pepesan kosong jika para kader sadar akan jati dirinya sebagai seorang kader. Karena itu, marilah kita rawat ikatan agar tidak memudar, yaitu dengan membuang kepentingan-kepentingan sesaat dan murahan, yang tidak berpotensi meningkatkan harkat dan martabat diri sebagai kader ikatan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni