Opini oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, warga Muhammadiyah biasa
PWMU.CO – Hari Sabtu 15 April 2017 kemarin akhirnya Masjid Raya Jakarta Daan Mogot—kemudian diberi nama Masjid KH Hasyim Asyári—diresmikan oleh Presiden Jokowi. Pembangunan dan peresmian masjid yang terletak di Jalan Daan Mogot Jakarta itu mengundang polemik.
(Baca: Rawan Dipolitisasi, Din Syamsuddin Minta Peresmian Masjid Daan Mogot Ditunda)
Sulit dipungkiri bahwa pembangunan masjid ini memang dominan muatan politiknya. Bayangkan, sekadar untuk waktu peresmian, banyak pihak meminta agar dilakukan selepas 19 April 2017 pun tidak digubris. Seakan menjadi keharusan bahwa masjid ini memang harus diresmikan sebelum 19 April. Mungkin dimaksudkan untuk memengaruhi pemilih muslim. Siapa tahu dengan diresmikannya masjid kontroversi ini akan memengaruhi perolehan suara Ahok yang berdasar hasil survey banyak lembaga kalah semua dengan Anies.
Membangun masjid bagi banyak pemda di Indonesia rasanya sudah wajar dan biasa. Tapi rasanya baru kali ini ada pembangunan masjid pemda dibuat penuh kontroversi. Lebih disayangkan, masjid yang dipolemikkan itu menggunakan nama ulama besar KH Hasyim Asyári. Sedih rasanya. Masjid yang notabene adalah rumah Allah dan “tempat bersujud” kok bisa dibuat begitu kontroversi dan mengundang polemik. Dan ini hanya terjadi di era Ahok. Luar biasa bukan?
Melihat sisi kontroversinya pembangunan Masjid KH Hasyim Asyári, saya jadi teringat kejadian yang bisa disebut serupa seperti termaktub dalam Attaubah ayat 107, yaitu terkait polemik pembangunan masjid yang oleh Rasulullah SAW disebutnya sebagai masjid dhirar, “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).”
Disebut masjid dhirar, karena terkait sekelompok orang munafik yang membangun masjid di Madinah yang sebenarnya bertujuan untuk mewujudkan agenda-agenda keji mereka dalam upaya melawan Islam dan kaum Muslimin. Dengan menjadikan masjid sebagai sentral pergerakan, mereka ingin melawan Rasul dan kaum Muslimin.
Terkait asbabun-nuzul ayat di atas, dijelaskan bahwa Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Ishaq berkata, “Ibnu Syihab az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akimah al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifari. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifâri–ikut baiat kepada Rasul pada hari Hudaibiyah–berkata, “Telah datang orang-orang yang membangun masjid dhirâr kepada Rasul, pada saat beliau bersiap-siap akan berangkat ke Tabuk.
Mereka berkata, “Wahai Rasul, kami telah membangun masjid buat orang-orang yang sakit maupun yang mempunyai keperluan pada malam yang sangat dingin dan hujan. Kami senang jika engkau mendatangi kami dan salat di masjid tersebut.” Kemudian Rasul menjawab,” Aku sekarang mau berangkat bepergian, insya Allah setelah kembali nanti aku akan mengunjungi kalian dan salat di masjid kalian.”
(Baca juga: Wacana Pemisahan Agama dan Politik adalah Pelecehan Pancasila)
Kemudian dalam perjalanan pulang dari Tabuk, Rasul beliau beristirahat di Dzu Awan (jaraknya ke Madinah sekitar setengah hari perjalanan). Pada waktu itulah Allah swt. memberi kabar kepada Rasul tentang masjid tersebut (dan larangan salat di dalamnya) dengan menurunkan ayat ini.
Mereka yang mendirikan masjid dhirar adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada orang-orang Mukmin dan masjid mereka, dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik, serta memecah belah jamaah kaum Mukminin.
Awalnya mereka semua salat berjamaah di satu masjid (Masjid Quba), kemudian terpecah menjadi dua masjid (di Masjid Quba dan masjid dhirar). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah, dan memecah belah shaf kaum mukminin. Mereka sesungguhnya bersumpah dengan mengatakan: “Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan salat dan berdzikir di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jamaah.” Dan Allah swt. menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Larangan Allah swt. tersebut telah disebutkan dalam ayat 108: “Janganlah kamu salat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah swt. menyukai orang-orang yang bersih.
Larangan Allah SWT ini tidaklah khusus bagi Rasul saja, tetapi kaum Muslimin juga termasuk dalam larangan tersebut. Dalam Tafsir Ibnu Katsîr dijelaskan: “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah swt. kepada Rasullullah agar tidak salat di masjid tersebut selamalamanya, dan umatnya mengikutinya dalam hal ini.”
Kemudian Allah SWT memerintahkan Rasul untuk melaksanakan salat di Masjid Quba yang telah didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas dasar ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasulullah dan juga untuk mempersatukan ukhuwah kaum muslimin serta sebagai markas mereka.
Pada ayat 109, Allah berfirman: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke neraka Jahanam? Dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.”
Pertanyaan ayat di atas adalah untuk taqrir (menetapkan), maksudnya menetapkan bahwa mereka kaum mukminin itu lebih baik daripada orang-orang munafik). Maka tidak sama antara orang yang mendirikan masjid atas dasar takwa kepada Allah SWT dan mengharap ridha-Nya dengan orang yang mendirikan masjid atas dasar kemadharatan, kekafiran, dan memecah-belah kaum mukminin. Pada hakikatnya mereka mendirikan masjid di tepi jurang yang akan runtuh, lalu tepi jurang itu menyebabkan bangunannya runtuh bersama-sama mereka ke neraka Jahanam.
Seperti halnya mereka membangunnya di tepi neraka Jahanam, sehingga bangunan itu runtuh bersama mereka ke dalamnya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim sehingga mereka merugi di dunia maupun di akhirat. Pada ayat 110, kemudian Allah SWT berfirman: “Bangunan-bangunan mereka itu senantiasa menjadi keraguan dalam hati mereka, kecuali jika hati mereka telah hancur, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kemudian Rasul mengutus Malik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Maan bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua: “Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid dhirar), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka keduanya pun berangkat. Sesampainya di perkampungan Bani Salim, Malik berkata kepada Maan, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar.
Subhanallah, setiap kali Ahok melecehkan Islam, selalu saja Allah memberikan jawabnya dalam al-Qurán. Sampai terkait pelecehan Islam dalam pendirian masjid pun Allah juga langsung memberikan jawabnya.
Penting menjadi catatan bagi Muhammadiyah, kalau rencana Ahok untuk membangun masjid serupa di Jakarta Timur dengan memakai nama KH Ahmad Dahlan, sebaiknya ditolak saja. Terlalu menista KH Ahmad Dahlan kalau sampai namanya disematkan untuk sebuah “masjid dhirar”. (*)