Gegara Sandal, Sahabat Ini Mengurung diri 3 Hari 3 Malam oleh Bahrus Surur-Iyunk,
Wakil Ketua PDM Sumenep, Guru SMA Muhammadiyah I Sumenep
PWMU.CO– Dulu ada seorang sahabat Nabi Muhammad saw bernama Tsabit bin Qais. Ia sahabat yang cukup dekat dengan Rasulullah.
Ia menjadi juru bicara Rasulullah saat melakukan perundingan dengan pihak lain yang bermusuhan dengan Islam. Ia ikut perang Uhud bersama Rasulullah dan peperangan-peperangan penting lainnya setelah itu.
Dalam sebuah kesempatan, sebagaimana dikisahkan Khalid Muhammad Khalid dalam Rijal Haula ar-Rasul, Rasulullah membacakan beberapa ayat yang baru turun. Ayat itu berbunyi,
وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ
Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Luqman: 18)
Di luar sepengetahuan Rasulullah, hati Tsabit gundah. Ia khawatir jangan-jangan ayat ini turun karena sikap perilaku dirinya.
Maklum, para sahabat Nabi paling malu dan sangat “tersinggung” jika ada ayat turun karena masalah atau perilaku dirinya. Beda dengan muslim kekinian yang sering tidak tersinggung oleh ayat-ayat Allah, meski sudah jelas menyinggung dirinya.
Ironisnya, kalau ada khatib yang membacakan ayat dan menyinggung jamaah, terutama pejabat, besok khatib itu bisa dicoret oleh takmir.
Karena malu kepada Rasulullah, maka Tsabit pun pulang. Mulai saat itu ia tidak keluar rumah selama tiga hari tiga malam.
Tentu saja, Rasulullah bertanya kepada sahabat yang lain. “Kemana Tsabit bin Qais?” Salah seorang sahabat yang tetangga Tsabit pun menceritakan kepada Rasulullah tentang apa yang dilakukan Tsabit.
Rasulullah pun memerintahkan untuk memanggilnya. Saat ditanya atas apa yang dilakukannya, Tsabit pun menjawab, “Ya Rasulullah, aku senang dengan pakaian yang indah. Baru saja aku memiliki sepasang sandal. Aku menyenanginya. Saat engkau membacakan firman Allah, aku sungguh takut dengan ini akan menjadi orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Rasulullah pun menjawab, “Engkau tidaklah termasuk dalam golongan mereka itu, bahkan engkau hidup dalam kebaikan, mati dalam kebaikan dan engkau akan masuk surga.”
Pertanyaannya sekarang, seberapa banyak dunia yang sering kita banggakan? Pernahkah kita kemudian merasa bersalah dan merasa malu kepada Allah atas rasa bangga kita itu? Atau, justru hati kita bertambah bangga karena begitu banyak orang yang memuji menyanjungmu atas apa yang kita miliki dengan dunia ini?
Padahal, di mata Allah Tuhan kita semua, sesungguhnya tidak ada yang bisa dibanggakan dengan dunia ini. Harta kekayaan yang dibanggakan dan dicintai akan ditinggalkan begitu saja di dunia saat dipanggil oleh Allah dan dikuburkan di liang lahat.
Harta kekayaan itu akan ada manfaatnya manakala diinfakkan di jalan Allah; disedekahkan kepada sesama; dan digunakan untuk membantu orang lain. Inilah yang akan menjadi harta tabungan yang sesungguhnya.
Anak-anak yang sering diceritakan kepada orang lain dengan segala kesuksesannya juga tidak dapat diandalkan saat seseorang berdiri sendirian di hadapan-Nya. Kecuali, jika anak-anak itu dididik dengan pendidikan agama yang menjadikan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan senantiasa mendoakan kedua orang tuanya, baik saat masih hidup maupun sesudah mati. Serta meneladani kebaikan kedua orang tuanya untuk terus dilakukan dan dilanjutkan.
Begitu juga dengan jabatan kekuasaan yang pernah direngkuhnya di dunia paling hanya dinikmati beberapa tahun saja saat hidup di dunia. Kecuali jika jabatan dan kekuasaan itu digunakan untuk memudahkan hajat orang banyak dan memberi manfaat kepada banyak orang tanpa harus mengurangi dan mengambil hak-haknya.
Pun ketinggian ilmu tidak akan bisa dibanggakan, kecuali jika dengan ilmu ia menjadi berguna dan memberi kebaikan kepada orang lain. Wallahu a’lamu.
Editor Sugeng Purwanto