Berguru pada Orang Tak Waras; Kolom oleh Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Sebuah pesan Nabi Muhammad sangat populer mengatakan, sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat bagi manusia lain—khairunnas anfauhum linnasi.
Tapi saya tak menyangka, ternyata bukan hanya manusia waras yang bisa memberi manfaat pada orang lain. Orang tak waras pun hidupnya masih bermanfaat.
Itulah yang berlaku pada Mamat, begitu orang kampung kami menyebutnya. Dia menderita kelainan jiwa. Hidupnya dihabiskan di jalan di perumahan sederhana yang kami huni. Mondar-mandir. Kadang dia berjalan agak jauh ke desa lain.
Tapi dia tidak pernah mengganggu orang lain. Tak pernah mengancam dan merepotkan. Tak pernah bikin heboh, misalnya berjalan tanpa busana. Juga tak pernah mengamuk.
Badannya relatif bersih. Rambutnya agak keriting dan ada sedikit jenggot putih di dagunya. Dia hidup sebatang kara. Dulu, di tahun 90-an dia ikut bersama keluarga pensiunan polisi. Tapi sejak suami-istri yang diikutinya itu meninggal dunia, dia hidup sendirian.
Pernah suatu saat Mamat diajak keluarganya pergi dari perumahan kami, karena rumah yang ditempati itu dijual. Kabarnya oleh keluarganya, Mamat sudah diobatkan. Tapi ya begitulah, dia kembali ke kampung kami.
Kini sehari-hari dia hidup menumpang di sebuah rumah tak berpenghuni. Kondisi rumah sudah rusak. Beberapa bagiannya sudah hancur. Untuk keperluan MCK dia menumpang di toilet yang dibangun warga dasa wisma untuk umum.
Mamat tidak menjadi ancaman bagi warga perumahan. Justru dia memberi manfaat. Pagi-pagi dia sudah menyapu dedaunan yang rontok dari pohon-pohon di perumahan. Sering pula malam hari dia melakukan itu, ketika warga sudah terlelap.
Tidak hanya menyapu, kadang dia mencabuti rumput liar di pinggir-pinggir jalan. Meski kadang membersihkannya tidak benar-benar bersih. Maklum si Mamat bukan orang waras.
Beberapa kali jalan di depan rumah kami dia bersihkan. Guguran daun mangga yang kami tanam dia sapu saat suatu hari kami lengah tidak membersihkannya. Kami kalah cepat menyapunya. Tiba-tiba sudah bersih dan sapu bersama cekroknya telah berpindah tempat. Artinya baru saja dipakai Mamat menyapu.
Masyarakat pun tergerak memperhatikan Mamat. Memberi makan atau uang. Terutama yang jalan di depan rumahnya dibersihkan Mamat.
Tafsir Hidup
Ternyata Mamat memberi kita pelajaran. Jadi orang harus bermanfaat. Bahkan dalam kondisi tidak waras sekalipun. Meski saat gila catatan pena diangkat—artinya tak berlaku dosa dan pahala—tetapi kehadiran manusia yang tidak menjadi ancaman bahkan memberi manfaat bisa membuat suasana kampung tetap kondusif.
Dalam pandangan sufistik, Mamat adalah utusan Tuhan untuk menafsirkan hadits di atas lebih nyata lagi: “Jadilah manusia yang bermanfaat. Jangan kalah sama orang gila!”
Sebab kadang kita tak menyadari, sering menjadi ancaman bagi orang lain. Kehadiran kita meresahkan. Membuat tak nyaman. Bikin suasana tak kondusif. Bahkan suka bikin ribut.
Alih-alih menjadi solusi atas sebuah masalah, seperti yang kita gembar-gemborkan, kehadiran kita malah bikin masalah bagi orang lain.
Padahal kita selalu mengucapkan salam di ujung shalat: assalamualaikum. Artinya semoga keselamatan bagimu. Kita ucapkan ke kanan dan ke kiri. Itu simbol kehadiran kita menjadi rahmat bagi sekitar. Bermanfaat bagi lingkungan.
Dengan kata lain pengucapan salam itu bermakna: saya bukan ancaman bagimu. (*)