Surat Terbuka untuk BSI oleh Mukhaer Pakkanna, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta.
PWMU.CO – Sejak Senin pagi (8/5/2023), sistem transaksi online Bank Syariah Indonesia (BSI), bank syariah terbesar di Indonesia, tidak terkoneksi ke seluruh nasabah.
Nasabah pun panik dan resah, terutama nasabah yang memang hanya mengandalkan rekening satu-satunya di BSI, bukan bank lain. Mereka tidak bisa bertransaksi, padahal gaji, upah, honor, dan transaksi lainnya tidak bisa diproses alias mentok.
Banyak di antara mereka adalah nasabah ultramikro, mikro, dan kecil, bahkan berpenghasilan rendahan. Padahal mereka memiliki anak, saudara, dan keluarga yang butuh pembayaran. Berapa kerugian mereka? Berapa dampak sosial dan psikologis mereka akibat tidak bisa bertransaksi? Sampai kapan mereka hilang kesabarannya?
Hingga Kamis pagi (11/5/2023), belum ada permintaan maaf secara terbuka dan transparan dari manajemen BSI. Bahkan, pemerintah sebagai inisiator pendirian BSI, diam seribu bahasa. Begitu juga petinggi Kementerian BUMN sebagai operator penggabungan tiga bank syariah menjadi BSI.
Mereka semua hanya “mengambinghitamkan” para hacker atau pelaku serangan siber, sehingga berdampak down-nya sistem transaksi. Manajemen BSI hanya ngomong akan diselesaikan bertahap?
Padahal mereka digaji tinggi, dihonor besar, dan pelbagai fasilitas yang diterima dari nasabah-nasabah kecil dan miskin. Kalau mereka tidak memiliki rasa malu, pasti akan terus menerus mencari “kambing hitam” dan tidak mau tanggung jawab serta tidak akan mau mengalkulasi berapa besar kerugian finansial, sosial, dan psikologis nasabah.
Terang benderang dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan hak nasabah/konsumen untuk dilindungi. Begitu juga peraturan turunannya, di mana pihak pelaku usaha, termasuk manajemen bank, harus melindungi dan bertanggungjawab terhadap nasib konsumen yang dirugikan. Lebih teknis, aturan Otoritas Jasa Keuangan dalam POJK No. 6/POJK.07/2022 eksplisit menjelaskan, perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan. Begitu juga dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 22/20/PBI/2020 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia.
Saya sebagai pimpinan di salah satu amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang memiliki ratusan dosen, karyawan, dan staf serta mitra yang bertransaksi loyal sebagai nasabah BSI yang terhormat, hampir tiap saat, mereka minta penjelasan ke saya tentang masalah dan keberadaan BSI ini.
Demikian juga, AUM-AUM yang lain dan lembaga-lembaga keagamaan yang lain atau dunia usaha dan industri yang lain yang menjadi nasabah. Tentu sebagai nasabah, pasti mereka resah. Keluarga mereka resah, karena tidak bisa bertransaksi. Maka saya harus menyuarakan ini kepada pemerintah, terutama ke Menteri BUMN, dan petinggi BSI serta pihak terkait dengan BSI.
Sebagai nasabah loyal, selama ini kami bangga dengan BSI. Karena mimpinya akan menjadi Bank Islam terbesar ke 10 dunia dan 5 besar di tanah air. Tentu ini didasarkan pada fakta, bahwa aset BSI telah menjulang hingga Rp277 triliun dan ekuitas perusahaan Rp26 triliun. Maka dengan kejadian ini, akhirnya kami mulai ragu terhadap kapasitas manajemen BSI. Sebagai bagian komponen umat, masalah ini harus segera dituntaskan, secepatnya, karena bagian dari ikhtiar dan jihad kita semua.
Editor Sugeng Purwanto