KH Ridwan Hadjir, Santri Kiai Dahlan dari Ponorogo oleh Faruq Ahmad Futaqi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo, Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Jetis
PWMU.CO– Momen Idul Fitri 1444 H yang lalu, saya silaturahim ke Mbah Miskiran, Mbah Sundjarib (Mbah Njarib), dan Mbah Sarno. Dua terakhir adalah sesepuh sekaligus takmir Masjid Jami’ Daarul Muttaqien Josari, Jetis, Ponorogo. Masjid tua yang berdiri tahun 1600 M.
Mbah Njarib merupakan kiai ke-10 yang memimpin sejak tahun 1980. Masjid ini diberi nama Daarul Muttaqien pada tahun 1973. Keberadaan Mbah Njarib sebagai kiai merupakan tradisi silsilah yang sudah turun temurun.
Mbah Njarib adalah ayah dari almarhum Mas Arif, teman saya yang meninggal masih muda. Mas Arif pernah menjadi ketua PC Pemuda Muhammadiyah Jetis. Interaksi saya dengan almarhum begitu intens utamanya saat saya diminta untuk menjadi ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) Jetis tahun 2017.
Mbah Njarib, ayah almarhum Mas Arif pernah duduk di Majelis Tabligh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Jetis. Ayah Mbah Njarib adalah Ketua Muhammadiyah Ponorogo periode kedua 1930 – 1936 setelah periode Ali Diwirjo. Dia bernama KH Ridwan Hadjir atau dikenal juga KH Ridwan Mansur. Salah satu generasi pertama murid KH Ahmad Dahlan di Hizbul Arqo (Qismul Arqo).
Tidak banyak yang diceritakan dalam Buku Selintas Muhammadiyah Ponorogo 1991 tentang KH Ridwan Hadjir. Tulisan ini mengulas tentang riwayat KH Ridwan Hadjir yang banyak disampaikan oleh Mbah Njarib dan Mbah Sarno serta dokumen yang dimiliki Mbah Sarno. Dan beberapa informasi tambahan dari Mbah Miskiran, salah satu sesepuh Muhammadiyah Jetis yang Mei 2023 berumur satu abad.
Nama asli KH Ridwan Hadjir atau Ridwan Mansur adalah Ridwan. Selanjutnya saya menyebutnya Mbah Ridwan. Mbah Ridwan lahir tahun 1901 di Josari Jetis dan meninggal 1989. Ayahnya bernama KH Muhammad Mansur yang lahir tahun 1831 dan meninggal 1943.
KH Muhammad Mansur
KH Muhammad Mansur (Mbah Mansur) merupakan tokoh penting pergerakan Islam di Ponorogo. Dia kiai ke-7 yang memimpin Pesantren dan Masjid Jami’ Josari. Guru KH Muhammad Mansur adalah ayahnya sendiri, Kiai Moh. Na’im. Kiai ke-6). Nyantri di KH Soleh Darat Semarang, KH Kholil di Pondok Bangkalan Madura, Pondok Cangaan Bangil dan mukim di Mekah selama 4 tahun.
Di Kiai Soleh Darat nasab ilmunya sama dengan Kiai Ahmad Dahlan. Menurut penuturan Mbah Njarib, kemungkinan dia pernah bertemu Kiai Dahlan saat berada di Mekah.
Mbah Mansur menjadi kiai Masjid Jami’ Josari dan memimpin Pesantren Josari tahun 1896-1943. Kiai Ahmad Sahal pendiri Gontor juga sempat belajar di pesantren ini. Bahkan Panglima Besar Jenderal Sudirman juga pernah mampir di Pesantren Josari dalam masa perang gerilya. Saat itu pesantren dipimpin oleh Kiai Mahfud Yahya tahun 1943-1961 merupakan kiai ke-8.
Kiai Mahfud Yahya adalah menantu Mbah Mansur. Alumnus Pesantren Jamsaren Solo. Saat bergerilya, Jenderal Sudirman sempat menginap sehari semalam di Pesantren Josari dan diberi hadiah keris oleh Kiai Mahfud Yahya.
Pesantren Josari dulu pesantren besar dengan murid dari berbagai daerah di Jawa. Sayang saat ini pesantren tersebut sudah tidak ada. Lokasi pesantren di sekitar Masjid Jami’ Daarul Muttaqien dan rumah KH Muhammad Mansur.
Di antara peran besar KH Muhammad Mansur adalah mendirikan Syarikat Islam (SI) tahun 1913, Muhammadiyah 1921, dan Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930-an. Bahkan dia menjadi Rais Syuriah pertama Pengurus Cabang NU Ponorogo.
Jika saya cek di buku Selintas Muhammadiyah Ponorogo, Muhammadiyah Ponorogo ber-SK status Ranting pada 22 Februari 1922 di Langgar Etan Pasar Legi. Peristiwa ini diawali dengan korespondensi muballigh sekaligus pedagang dari Yogyakarta bernama Turki.
Selanjutnya kedatangan Kiai Dahlan ke Kauman Ponorogo mengisi pengajian Syarikat Islam (SI) memperkuat kebulatan tekad untuk mendirikan Muhammadiyah. Akhirnya, komunikasi berlanjut dan berdirilah Muhammadiyah Ponorogo di Langgar Etan Pasar Legi.
Pada tahun 1921 KH Muhammad Mansur telah mengenalkan dan membawa pikiran dan gerakan Muhammadiyah di Josari, Jetis. Apalagi putranya nyantri di Kiai Dahlan. Artinya, korespondensi Yogya – Josari Jetis tentang Muhammadiyah juga telah terjadi jauh sebelum tahun 1920.
Keberadaan Muhammadiyah di Kecamatan Jetis nyambung dengan apa yang disampaikan Mbah Sarno, bahwa Muhammadiyah di Jetis telahberumur tua.
Menurut Mbah Sarno dan Mbah Miskiran, Muhammadiyah di Jetis dibawa oleh pendakwah Muhammadiyah dari Tugu, Trenggalek bernama Sastro Wiyoto. Seorang Mantri Guru (pengawas sekolah). Mbah Sastro Wiyoto mondok di rumah Mbah Baidhowi Desa Kutukulon, Jetis.
Di Desa ini juga didirikan Masjid Muhammadiyah pada tahun 1937 dengan nama Masjid Darul Muttaqin. Kurang lebih berjarak 1,5 Km dari Masjid Daarul Muttaqien Josari. Masjid ini lebih tua satu tahun dari Masjid Duwur Darul Hikmah Kota Ponorogo yang didirikan tahun 1938. Hal ini menunjukkan bahwa persebaran Muhammadiyah di Jetis saat itu memang sudah meluas.
Baca sambungan di halaman 2: Masjid Jami’ Josari