PWMU.CO – Ketua Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah 2012-2016 Dr Norma Sari SH MHum mengungkap filosofi tangguh pada Refleksi Milad Ke-95 Nasyiatul Aisyiyah bertema ‘Perempuan Tangguh untuk Mencerahkan Bangsa’.
Norma menegaskan, kadang orang mengambil diksi strong (kuat), tapi Nasyiah memilih diksi tangguh. “Diksi tangguh sengaja dipilih untuk memberi penguatan makna yang lebih komprehensif dibandingkan makna kuat. Kadang kuat dipahami sebagai antitesis dari lemah,” jelasnya.
Kalau kuat saja, kata Norma, berarti kekuatan pribadi itu tidak terpendarkan ke sekelilingnya. Adapun tangguh dalam Bahasa Jawa berarti memiliki kekuatan yang bisa memendar, memberi energi positif terhadap orang-orang di sekelilingnya.
“Kita ingin menjadi generasi tangguh. Artinya ketangguhan yang ada juga tidak dimaknai sebagai ketangguhan personal saja. Ketangguhan itu kekuatan yang berjamaah,” terangnya, Sabtu (15/7/2023).
Selanjutnya dia bertanya, mengapa tangguh dikaitkan dengan sesuatu yang mencerahkan bangsa? Menurutnya ini terkait relasi perempuan dengan bangsa. “Setengah populasi dari bangsa ini adalah perempuan. Bangsa ini memerlukan populasi yang tangguh untuk menjadi bangsa yang tangguh!” tegasnya.
Bangsa yang tangguh, menurutnya, bisa tegak berdiri di antara bangsa-bangsa lain. Di mana cukup memiliki dignity (martabat) untuk melakukan bargaining, melakukan aksi-aksi baik itu asli bersaing maupun bekerja sama.
Makna Perempuan Tangguh
Berdasarkan pemaparannya, ada kaitan sangat erat dengan yang setengah populasi bangsa ini perempuan. “Kalau bangsa ingin tangguh dan perempuan menjadi bagian yang tangguh, maka sebenarnya yang dilakukan Nasyiah itu bagian upaya mengajak perempuan untuk bisa menjadi elemen bangsa yang menguatkan bangsanya sendiri,” imbuhnya.
Dia menekankan kembali yang pernah disampaikan Prof Amin Abdullah mengenai bagaimana pola pikir kita untuk menjadi perempuan tangguh. “Di manhaj Muhammadiyah itu kita memandang agama sebagai rumah. Dalam kehidupan, rumah itu tempat yang penting untuk tumbuh kembang umat manusia,” ujarnya.
Dari pandangan keagamaan ini, sambungnya, ketika rumah penting untuk tumbuh kembang, maka tidak mungkin rumah dikatakan sebagai rumah yang baik apabila orang-orang yang berada di dalamnya tidak bisa tumbuh dan berkembang sesuai fitrahnya sebagai manusia.
Apabila rumah dilengkapi ventilasi, lanjutnya, tentu sang penghuni dapat menghirup udara luar. “Namun apabila rumah sebagai tempat tinggal itu semakin dibuat tertutup, maka sang penghuni akan merasa terkungkung, sakit, bahkan merasa tidak betah tinggal di rumah,” imbuh Norma.
Baca sambungan di halaman 2: Beragama dengan Ventilasi