![](https://i0.wp.com/pwmu.co/wp-content/uploads/2023/07/kamus-munawwir-arab-indo.jpg?resize=900%2C900&ssl=1)
Motivasi agar Terbit
Sepanjang pengerjaan karya besar itu, selalu di bawah kontrol KH Ali Maksum. Meski begitu, untuk meyakinkan diri atas kualitas karyanya, Ahmad Warson Munawwir menemui Kiai Hamid di Pasuruan dan Kiai Bisri Mustofa di Rembang. Tentu, dengan harapan keduanya memberikan masukan bahkan koreksi.
Hal yang didapat Ahmad Warson Munawwir adalah “sekadar” tambahan memotivasi. Intinya, oleh kedua ulama itu dia didorong agar kamus itu segera diselesaikan dan diterbitkan.
“Buat apa,” respons Kiai Bisri Mustofa saat Ahmad Munawwir menemuinya di Rembang.
“Sudah jadi begini, ya langsung dicetak saja,” lanjut sang Kiai.
Konon, Kiai Bisri Mustofa tak menyentuh sama sekali naskah itu.
“Bukankah Al-Munjid masih banyak kesalahannya, apalagi cuma bikinan saya,” ucap Ahmad Warson Munawwir (Catatan: Al-Munjid adalah kamus bahasa Arab ensiklopedik karya dua pendeta Kristen asal Lebanon yaitu Louis Ma’luf dan Bernard Tottel).
“Lha iya, walaupun (Al-Munjid) masih banyak yang salah dan diterbitkan, nyatanya tidak apa-apa ‘kan? Tetap banyak manfaatnya ‘kan,” tegas Kiai Bisri Mustofa.
“Anda ini sudah mencurahkan kemampuan habis-habisan untuk mengumpulkan, meneliti, menyusun, menulis, sampai jadi naskah sebegitu tebalnya. Kurang apa lagi? Sudah sangat besar jasa Anda. Nanti kalau sudah diterbitkan, gantian pembaca yang bertugas untuk meneliti kalau-kalau ada kekurangannya. Biar pembaca yang mengoreksi. Kalau perlu, ada orang lain yang menyusun kamus baru untuk menyempurnakan kamus Anda ini. Lha, Anda menyusun kamus ini ‘kan maksudnya juga mengoreksi dan menyempurnakan kamus Al-Munjid, kan?” demikian, panjang-lebar Kiai Bisri Mustofa menjelaskan sekaligus menyemangati Ahamad Warson Munawwir (https://ulamanusantaracenter.com/biografi-kh-ahmad-warson-munawwir-penyusun-kamus-al-munawwir/).
Demikianlah, sejumput kisah di balik penulisan kamus yang tergolong fenomenal. Sebuah kisah tentang perjuangan panjang seorang santri (dan di kemudian hari menjadi guru) dalam mewujudkan karya tulis yang sangat bernilai.
Baca sambungan di halaman 2: Beberapa Pelajaran dari Al Munawwir