PWMU.CO – Beda Salafi dan Muhammadiyah jadi topik Kajian Tarjih Majlis Tabligh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kedungadem.
Kajian bertempat di PRM Sidomulyo dengan mengundang narasumber Ustad Luqman Hakim Lc MA, Ahad (23/7/2023).
Kajian berlangsung pukul 13:00-15:00 WIB dihadiri oleh anggota PCM dan majelis, PRM, dan seluruh pimpinan dan karyawan Amal Usaha Muhammadiyah.
Dalam kajiannya Ustad Luqman Hakim Lc MA menyampaikan, tema kajian ini berat karena harus berhati-hati karena materinya sensitif di masyarakat umum.
Ustad Luqman sapaan akrabnya memberikan enam gambaran yang menonjol beda Salafi dan Muhammadiyah sebagai berikut.
Pertama, Muhammadiyah dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah melalui pendekatan bayani, burhani dan irfani. Artinya, mengedepankan nash, akal, dan pengetahuan yang bertitik tolak pada al-‘ilm al-hudluri.
”Sedangkan Salafi memahami secara literal dan pemahaman literal inilah yang membawa mereka pada pendapat tersulit dengan dalih kehati-hatian,” katanya.
Kedua, cara berdakwah Muhammadiyah menggunakan prinsip hikmah, sedangkan kelompok itu memandang semua perbuatan yang tak sesuai hadits dinilai bid’ah.
Ketiga, di Muhammadiyah seorang perempuan boleh menjadi pemimpin seperti menjadi kepala sekolah, direktur rumah sakit dan lain sebagainya, sedangkan di Salafi seorang perempuan di larang menjadi seorang pemimpin.
Keempat, cara berpakaian Muhammadiyah yang terpenting menutup aurat dan boleh memakai pakaian tradisional, sedangkan Salafi mempunyai identitas berpakaian jalabiya (baju panjang terusan atau jubah), celana cingkrang, lihya (memelihara jenggot), dan niqab (memakai cadar bagi perempuan).
Kelima, musik dan seni, Muhammadiyah berpandangan boleh berdakwah dengan menggunakan kesenian, sedangkan Salafi berpandangan musik itu bid’ah dan haram.
Keenam, penentuan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, Muhammadiyah menggunakan metode hisab, sedangkan Salafi menggunakan metode rukyat. Kalau Idul Adha mengikuti ketentuan wukuf di Arafah.
Menurut sejarah, kelompok Salafi menyebar di Indonesia dimulai awal dekade 1980-an. Munculnya gerakan ini dilatarbelakangi berdirinya LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab). LIPIA merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad di Indonesia.
Syekh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar, murid tokoh utama Syekh Abdullah bin Baz saat itu sebagai direktur LIPIA. Mahasiswa Indonesia yang belajar di LIPIA mendapat beasiswa uang kuliah dan uang saku lantas melanjutkan tingkat master dan doktoral di Universitas Ibnu Saud di Riyad.
Alumni LIPIA angkatan 1980-an itu menjadi pembuka dakwah di Indonesia. Seperti Yazid Jawwas membangun kelompok Minhaj us-Sunnah di Bogor, Farid Okbah direktur al-Irsyad, Ainul Harits mendirikan Yayasan Nida’ul Islam Surabaya, Abubakar M. Altway membina Yayasan al-Sofwah, Jakarta, Ja’far Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah wal Jamaah, dan Yusuf Utsman Baisa direktur al-Irsyad Pesantren Tengaran.
Penulis Samsul Arifin Editor Sugeng Purwanto