Mereka “Abadi”
Ahmad Dahlan (1868-1923) – Pendiri Muhammadiyah, 1912. Ahmad Dahlan terpengaruh pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905) di Majalah Al-Manar yang terbit di Mesir. Lewat kepemimpinan Ahmad Dahlan, majalah Suara Muhammadiyah terbit kali pertama pada 1915. Di dalamnya Ahmad Dahlan turut menulis (Djaelani, 2023: 20-21). Tiga tahun setelah wafat, beberapa tulisan pendek Ahmad Dahlan dimuat di buku Al-Manar yang diterbitkan Muhammadiyah Solo.
Ahmad Surkati (1875-1943) – Pendiri Al-Irsyad, 1914. Ahmad Surkati, kecuali aktif mengajar juga menulis. Inilah sebagian dari judul-judul karya tulisnya, yaitu Surat al-Jawab (1915). Ada lagi, Risalah Tawjih Al-Qur’an ila Adab Al-Qur’an (1917). Juga, judul ini: Al-Masa’il Ats-Tshalats (1925). Ini berisi pandangan Ahmad Surkati tentang ijtihad dan taqlid, sunnah dan bid’ah, tawasul dan ziarah kubur.
Ahmad Sanusi (1888-1950) – Pendiri PUI, 1917. Ada ratusan judul kitab yang pernah dia tulis. Karya-karya kitab tersebut mencakup berbagai bidang disiplin ilmu keislaman seperti akidah, fiqih, tasawwuf / akhlak, tata bahasa Arab, bahkan politik dan ekonomi Islam. Juga, tata bahasa Arab.
Tujuh puluh tahun setelah sang penulis wafat, yaitu pada 2020, di Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung ada yang meneliti karya Ahmad Sanusi. Judulnya, “Corak Tasawuf dalam Kitab-Kitab Tafsir Karya KH Ahmad Sanusi” (https://etheses.uinsgd.ac.id/32941/).
A.Hassan (1887-1958) – Tokoh dan Guru Utama Persis (yang berdiri pada 1923). Dia lahir di Singapura. Awal menulis di Utusan Melayu yaitu sebuah media cetak di Singapura. Belakangan dia menetap di Bandung, lalu di Bangil. Ada puluhan buku/kitab yang ditulisnya. Berikut ini sekadar menyebut beberapa saja, yaitu: Tafsir Al-Furqan, Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama (4 jilid), Pengajaran Shalat, dan Terjemah Bulughul Maram (yang disertai catatan dari A.Hassan).
Tafsir Al-Furqan dibaca dan mempengaruhi banyak orang. Sekadar menyebut dua di antaranya, adalah Natsir dan Abdullah Said. Natsir adalah pemimpin umat Islam dan negarawan. Di parlemen, pada 1950, dia pencetus Mosi Integral yang memungkinkan negeri ini kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak lama setelah itu, pada tahun yang sama, dia dipilih menjadi Perdana Menteri. Sementara, Abdullah Said pendiri Ormas Islam Hidayatullah.
Hasyim Asy’ari (1871-1967) – Pendiri NU, 1926. Dia aktif menulis artikel. Tulisan-tulisannya banyak merespons persoalan yang timbul di masyarakat dan terutama jika bersangkut dengan bahaya terhadap akidah umat Islam. Tulisan dia antara lain ada di Majalah NU dan Panji Masyarakat. Adapun buku-buku karyanya hampir dua puluh judul.
Natsir (1908-1993) – Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 1967. Dia murid A.Hassan. Dari Sang Guru banyak yang dia dapat. Sebagaimana A.Hassan, Natsir cakap berdebat dan menulis. Banyak karya artikel dan bukunya. Dua bukunya yang fenomenal adalah Capita Selecta dan Fiqhud Dakwah.
Abdullah Said (1945-1998) – pendiri Hidayatullah, 1973. Pada 1969, dalam posisi Abdullah Said sebagai “pelarian”, di kesendirian dia banyak mendapat penguatan dan inspirasi dari Tafsir Al-Furqan karya A.Hassan dan (beberapa bagian dari buku) “Fiqhud Dakwah” karya M. Natsir.
Lewat Ormas Islam Hidayatullah yang didirikannya, Abdullah Said lalu menerbitkan majalah Suara Hidayatullah. Belakangan, terbit juga buku dia yang berjudul “Kuliah Syahadat”.
Manis, Manis!
Demikianlah, profil ringkas sebagian ulama yang nama mereka potensial abadi. Nama mereka akan terus disebut-sebut secara manis oleh berbagai generasi setelah mereka wafat. Bahkan, potensial juga bahwa nama dan pikiran mereka akan tetap sering disebut-sebut sampai kiamat tiba.
Sungguh, dakwah ulama (atau siapapun) lewat cara menulis akan membuat mereka senantiasa eksis. Di titik ini, maka tak mengherankan jika ulama-penulis bernama Ali Mustofa Yaqub (1952-2016) dalam berbagai kesempatan memberi nasihat: “Wa la tamutunna illa wa antum katibun (Jangan mati kecuali Anda sudah menulis karya”. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post