Mewaspadai Komunisme Gaya Baru

Majalah Matan Edisi 206 September 2023: Mewaspadai Komunisme Gaya Baru (Didik Nurhadi/PWMU.CO)

Mewaspadai Komunisme Gaya Baru, review majalah Matan Edisi 206 September 2023 oleh Miftahul Ilmi

PWMU.CO – Organisasi politik PKI telah dibubarkan. Paham, simbol-simbol, dan atributnya juga telah dilarang dengan Tap MPR dan undang-undang. Namun menjadi pertanyaan penting; apakah anak-anak ideologis mereka telah punah  atau justru beranak pinak menyusup ke semua lini kehidupan dengan menumpang jargon dan diskursus kekinian?

Bahkan ada kesan negara  tunduk pada tekanan sekelompok pihak yang menganggap PKI sebagai korban, bukan pelaku Pemberontahan G 30 S PKI  dan peristiwa  berdarah sebelumnya. Di atas semuanya,  kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang karut marut sekarang jangan-jangan modus  segala cara  yang sering dinisbatkan pada PKI  telah lama muncul kembali.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat terjadi di Indonesia. Ia pun menyesalkan berbagai pelanggaran HAM berat itu terjadi dalam sejumlah peristiwa. Jokowi menyebut dirinya telah membaca secara saksama laporan dari tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2022.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1/2023) lalu.

Anak Ideologis Berbahaya

Ketua Center for Indonesian Community Studies (CICS) Arukat Djaswadi mengatakan, Keppres 17 Tahun 2022 memang menyebutkan tragedi 1965-1966 menjadi salah satu dari 12 peristiwa yang di dalamnya terdapat pelanggaran HAM berat. Namun, pemerintah tidak mengutarakan siapa pelakunya. Setelah itu, turun Inpres Nomor 2 yang menyebutkan korban tragedi 1965-1966 mendapatkan restitusi (ganti rugi).

“Pemerintah tidak jelas mengungkapkan siapa pelaku, siapa korban. Jadi kompensasinya diberikan ke siapa? Kan, orang Islam juga jadi korban. Tapi kami sendiri nggak pernah minta kompensasi. Nuntut pemerintah minta maaf, ya, nggak. Hanya PKI saja yang begitu. Tujuannya supaya PKI hidup lagi. Ending-nya itu ingin rehabilitasi. Kalau sudah rehabilitasi itu berarti akan menghidupkan PKI,” kata mantan aktivis PII di tahun 1960-an itu.

Restitusi sebenarnya sudah lama diberikan oleh pemerintah lewat Komnas HAM dengan menerbitkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH). Keluarnya surat ini adalah tindak lanjut dari pertemuan anak-cucu PKI sekitar 5 tahun lalu di Madiun, tepatnya di kediaman Sukat yang merupakan pecatan polisi. “Yang membuka acaranya, Komisioner Komnas HAM saat itu, Nur Khoiron. Saya hadir juga di situ dengan maksud ingin membubarkan,” paparnya.

Pendiri CICS ini menegaskan, tidak ada masalah dengan anak biologis anggota PKI. Sebab, mereka tidak bisa memilih lahir di rahim siapa. Islam juga tidak mengenal dosa keturunan. Jadi CICS setuju bahwa mereka sepenuhnya bersih, tidak ada kaitannya dengan peristiwa pemberontakan itu. Sehingga, tidak ada maksud CICS untuk mengasingkan mereka. Namun, yang perlu dilawan adalah anak ideologisnya.

“Mereka inilah yang berupaya membangkitkan kembali PKI melalui gerakan yang terstruktur dan sistematis. Anak ideologis ini jumlahnya tidak sedikit. Inilah yang kita hadapi. Seperti Ripka Tjiptaning, yang membuat buku ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’. Ripka-Ripka lainnya itu banyak. Di DPR ada, eksekutif ada,” ungkapnya.

Baca sambungan di halaman 2: Gerakan Kebangkitan PKI

Majalah Matan Edisi 206 September 2023: Mewaspadai Komunisme Gaya Baru (Didik Nurhadi/PWMU.CO)

Gerakan Kebangkitan PKI

Dia menjelaskan, sesungguhnya sudah ada gerakan untuk mengupayakan kebangkitan PKI sejak runtuhnya Orde Baru. Secara legal gerakan komunisme terhalang oleh TAP MPR No 25 Tahun 1966 dan UU 27 tahun 1999 pasal 107 poin A sampai E. Namun, mereka tak kehabisan akal. Kelompok ini melakukan gerakan bawah tanah. Mereka berganti nama, simbol, dan kegiatan. Setelah Soeharto lengser, Bj Habibie kemudian naik menjadi presiden. Di tahun 1999, dia melepas semua tahanan politik (tapol) era Orba. Sejak itulah muncul komunitas-komunitas yang diduga beranggotakan eks PKI.

“Saya ingat pada tahun 2003, di Hotel Cempaka, Jakarta, para tapol (tahanan politik) ini mengadakan temu raya. Terkumpul sekitar 700 orang. Dari 700 itu ada yang dari Islam. Tapi jumlahnya tidak banyak. Yang banyak tapol (diduga) PKI. Dengan menggunakan istilah temu raya tapol, seakan-akan bukan acara mereka. Padahal itu orang-orangnya didominasi oleh kubunya. Dalam acara tersebut, melahirkan rekomendasi yang menyatakan bahwa mereka adalah korban tragedi 1965. Tentu orang Islam menolak rekomendasi itu,” terangnya.

Pertemuan tersebut menjadi trigger terbentuknya sejumlah organisasi yang berjuang untuk mendapatkan legalitas pengakuan sebagai korban 1965. Di antaranya adalah Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPKROB), dan Yayasan Penelitian Korban Peristiwa (YPKP) 65. Di era Presiden Megawati ada gagasan untuk membentuk RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Megawati kemudian menerima usulan tersebut.

“Tapi, sampai Megawati turun jabatan, RUU itu belum tuntas. Di era SBY pembahasan RUU itu dilanjutkan. CICS kemudian menggugat ke MK. Kami waktu itu dibantu pak Muhadjir Effendy (kini Menko PMK) mulai dari menyediakan penasihat hukum hingga tiket. Akhirnya gugatan kami diterima. RUU KKR dibatalkan. MK menyatakan RUU KKR bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Waktu itu Majelis Hakimnya Jimly Assiddiqy,” ujarnya.

Dia pun menyampaikan, Wantimpres SBY, Albert Hasibuan pernah menemuinya untuk menyampaikan rencana presiden meminta maaf pada anak-cucu PKI. Arukat kemudian meminta dibuatkan forum. Maka, terjadilah pertemuan di Kota Surabaya pada tahun 2012, antara Arukat cs yang berjumlah 26 orang dan sejumlah perwakilan dari pemerintah.

“Dalam pertemuan itu ada yang bertanya, siapa yang punya ide pertama kali pemerintah minta maaf? Utusan SBY menjawab bahwa ide itu dari presiden. Saya bilang, kalau sampai minta maaf kita lawan. Tiba-tiba beberapa hari kemudian Soekarwo (Mantan Gubernur Jatim) menyampaikan ke saya, kalau presiden tak jadi minta maaf,” ceritanya.

Tapi, di era Jokowi, rencana minta maaf itu muncul lagi bahkan juga ada yang mengajukan KKR Jilid 2. Mendengar kabar tersebut, CICS pun bergegas menemui DPR. “Saya dan MUI mendatangi DPR. Kami ditemui Fadli Zon yang masih menjabat Wakil Ketua DPR. Dia mengatakan, kalau pengajuan KKR bukan ide DPR, tapi pemerintah. Pembahasan itu sudah masuk dalam prolegnas nomor 13. Tapi, Alhamdulillah tidak dibahas sampai sekarang. Seandainya dibahas, tidak karuan apa yang terjadi,” paparnya.

Baca sambungan di halaman 3: Menyusup melalui Pendidikan

Majalah Matan Edisi 206 September 2023: Mewaspadai Komunisme Gaya Baru (Didik Nurhadi/PWMU.CO)

Menyusup melalui Pendidikan

Selain lewat undang-undang, rencana kebangkitan PKI juga menyusup dalam bidang pendidikan. Pemberontakan G 30S PKI telah dihapus dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KPK) tahun 2004. Terkait hal tersebut, CICS menemui Menteri Pendidikan yang pada waktu itu dijabat Bambang Sudibyo.

“Jawabannya, nggak masuk kurikulum itu kecil. Saya lalu katakan, Satu peluru ditembakkan untuk satu nyawa. Tapi satu kurikulum itu diganti dan dibuat senjata, maka sasarannya sekian generasi, mereka akan bisa jadi komunis,” ujarnya. Kemudian pada Kurikulum Nasional 2013, pengajaran di sekolah kembali memunculkan kata PKI.

Menurut dia, anak muda era sekarang banyak yang tidak paham bahkan terkontaminasi pemikiran liberal bahwa PKI adalah korban. Sementara itu, Mendikbud saat ini dicurigai akan menghapus sejarah pemberontakan G30 S PKI. Menganggap PKI sebagai korban. “Maka dari itu, perjuangan dalam sosialisasi ancaman komunis tidak boleh berhenti. Sejarah harus diluruskan kembali,” katanya.

Sementara itu pakar sejarah Unesa Prof Aminuddin Kasdi mengungkapkan, saat Wiranto sebagai Menko Polhukam (Presiden Jokowi Periode 1) dirinya terlibat dalam penulisan buku tentang pelanggaran HAM.  Di sana ada PKI yang ingin mengubah ideologi Pancasila dan menggunakan segala cara politik untuk merebut kekuasaan. Namun PKI kalah. 

“Nah, kalah kok mau minta kompensasi. Kalau AS yang memimpin sekutu dalam Perang Dunia II mengalahkan Jerman, Italia dan Jepang kemudian minta ganti rugi itu wajar,” tegasnya saat ditemui di rumahnya kawasan Tenggilis Utara, Surabaya.

Yang membayar negara-negara yang menjadi penyebab perang. Kalau Jerman adalah Nazi di bawah Adolf Hitler, Jepang di bawah 7 Fraksi militer di bawah kekaisaran Jepang dan Italia di bawah Benigto Mussolini. Kemudian AS, Inggris dan Prancis minta ganti rugi kepada mereka yang kalah. Karena yang kalah itu yang menyebabkan perang dan menimbulkan korban dan kerugian material yang sangat besar.

“Sedangkan dalam kasus PKI ini aneh. Yang kalah kok malah minta ganti rugi. PKI itu menggunakan strategi  menyesuaikan kondisi. Ketika mereka masih lemah, maka mereka melakukan aksi secara diam-diam. Ketika sudah mulai kuat mereka menusuk dari belakang, Kalau menusuk dari muka tidak apa-apa. Tahun 1965 itu PKI menusuk dari belakang yang menyakitkan dan mematikan. Kalau dari depan, mana dadamu, ini dadaku tidak mengapa. Jelas,” tandasnya.

Dalam pengamatan Aminuddin, banyak yang menganggap PKI itu korban bukan pelaku. Padahal merekalah yang membunuh Dewan Jenderal dan banyak ulama di daerah-daerah. PKI yakin karena mereka punya sekutu di DPR sekarang, seperti Ribka Tjiptaning yang menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI.” Anak-anak PKI (ideologis) masuk parlemen. Mereka sekarang berjuang di balik  kata-kata HAM dan demokratisasi. Sampai kemudian Presiden mengeluarkan Keppres No 17 Tahun 2022.

Selengkapnya, baca di Matan Edisi 206 September 2023. Info pemesanan Saudara Oki 08813109662 (*).

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version