PWMU.CO – Dalam beberapa hari terakhir, muncul wacana tentang Indonesia yang dihadapkan pada Islam. Semenjak proses pilkada DKI Jakarta 2017, tiba-tiba saja menguat perdebatan ‘kebhinekaan’ dan ‘keindonesia-an. Kegagalan move on memunculkan klaim dengan merasa paling memiliki Indonesia, paling Pancasilais dan paling toleran dengan mengabaikan sejarah bangsa ini.
Bahkan begitu akutnya, sampai-sampai para ahistoris kelas berat ini meragukan komitmen kebangsaan berbagai ormas Islam, tidak terkecuali Muhammadiyah. Padahal setiap denyut nadi gerakan Muhammadiyah sejak NKRI belum lahir pun dalam rangka menegakkan marwah Islam dan sekaligus memperkuat sendi-sendi negara dan kebangsaan.
Berikut adalah catatan kritis David Efendi, Dosen Ilmu Pemerintahan, Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Selamat menikmati. (Redaksi)
***
Setiap denyut nadi gerakan Muhammadiyah adalah dalam rangka menegakkan marwah Islam dan sekaligus memperkuat sendi-sendi negara dan kebangsaan. Di Muhammadiyah, Islam dan kehidupan negara yang adil dan benar adalah tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Karenanya, Muhammadiyah adalah gerakan yang sangat Indonesia dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang sebenar-benarnya karena di dalam Muhammadiyah tidak ada kontradiksi antara praktik menjalankan syariat dengan konstitusi negara.
(Baca juga: “NKRI Harga Mati”: Jargon yang Absurd?)
Melalui Ketua (Umum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo, Pancasila dan NKRI adalah final untuk bangsa Indonesia, untuk Muhammadiyah. Kontribusi Muhammadiyah di bidang ini tidak ada keraguan di dalamnya –kecuali ada pihak yang merasa lebih NKRI dan lebih Pancasilais barulah ada gerakan menegasikan peran historis gerakan Muhammadiyah dan juga tokoh-tokoh di dalamnya.
Bagaimana kita melihat autentisitas gerakan Muhammadiyah di dalam memperkuat negara Indonesia selama kurun waktu pra merdeka sampai jauh pasca kemerdekaan ini?
Pertama, sumbangsih gagasan dan penegasan untuk menyegerakan bangsa ini berdiri tegak di atas konstitusi yang kokoh dan kuat yaitu Pancasila dan UUD 1945. Tentu saja Muhammadiyah tidak sendirian, ada juga organisasi lainnya. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa peran Ki Bagus didalam mengakhiri perseteruan 7 kata di dalam Pancasila.
(Baca juga: Drama Kelahiran NKRI dengan Tiga Pemeran Tokoh Muhammadiyah)
Berikutnya, dalam periode pasca kemerdekaan, Muhammadiyah aktif bukan hanya melanjutkan kiprah di bidang pembangunan sosial dan ekonomi, tetapi juga terlibat di dalam partai politik yaitu menjadi anggota istimewa partai Masyumi. Disinilah Muhammadiyah terlibat menghidupi dan mengapresiasi sebuah sistem yang disebut demokrasi di era-era awal kemerdekaan.
Lalu, penggalan sejarah berikutnya adalah keterlibatan muhammadiyah mengisi ruang-ruang pembangunan di era Orde Baru dengan konsep profesional dan proporsional –banyak bekerja sedikit bicara untuk mengawal pembangunan.
Di saat kegentingan pun, asas tunggal, Muhammadiyah lewat Ketua (Umum) PP Muhammadiyah AR Fachruddin cukup cepat mereda dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal demi menjaga keutuhan bangsa di tengah ancaman perpecahan akibat kuatnya kekecewaan kelompok Islam yang asasnya Islam dalam organisasinya harus diubah menjadi Pancasila. Ini menunjukkan kecintaan dan loyalitas persyarikatan Muhammadiyah terhadap bangsa yang luar biasa.
Bagaimana orang-orang meragukan komitmen kebangsaan Muhammadiyah? Pastilah jenis manusia ahistoris kelas berat. Begitupun, pada saat tata kelola negara mengalami kanker stadium empat akibat praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), Muhammadiyah, melalui tokoh reformsi M. Amien Rais berani dengan lantang meneriakkan suksesi nasional pada tahun 1993 –dimana kekuasaan tahun itu adalah seperti monster leviathan. Siapa yang berseberangan harus dipersekusi, dihabisi sampai ke akar-akarnya.
(Baca juga: “Kita Amien Rais”; Bukan Kultus Individu tapi Kepedulian pada NKRI, Anda Juga kan?)
Negara yang selama ini didukung oleh Muhammadiyah justru menjadi rezim yang memonopoli kebenaran dan paling piawai menggunakan kekerasan fisik maupun non fisik. Manuver Amien Rais yang kemudian diikuti beberapa tokoh Islam modernis lainnya adalah bentuk kecintaan dan kesetiaan kepada negara Republik Indonesia. Agenda reformasi pun berhasil dilakukan, dan banyak orang menikmatinya sampai hari ini.
Hubungan Muhammadiyah dengan negara adalah hubungan yang sangat dekat. Persis seperti ungkapan Syafii Maarif, bahwa Muhammadiyah yang tidak berkontribusi terhadap penyelesaian masalah kebangsaan adalah bukan Muhammadiyah sebenarnya.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah juga mempunyai metode berinteraksi dengan negara seperti sebagai mitra kritis pemerintah, atau sebagai kekuatan masyarakat sipil yang mengingatkan agar negara tetap dikelola di atas rezim kebenaran dan akal sehat. Muhammadiyah kini terus berperan untuk meluruskan kiblat bangsa.
(Baca juga: Paparkan Kiprah Tokoh Islam dalam Mendirikan Indonesia, Busyro Kritik Mereka yang sok Pancasilais)
Kedua, Muhammadiyah yang mempraktikkan ‘toleransi otentik’. Perdebatan idelogi negara sebagai proses “nation state building” memang belum kelar sepenuhnya. Masih banyak konsilidasi dan rekonsiliaasi yang harus dibangun dengan tulus. Tidak dibenarkan ada satu pihak mengklaim merasa paling memiliki Indonesia, merasa paling merah putih, paling Pancasilais dan paling toleran. Hal ini hanya akan memporak-porandakan kehidupan berbangsa ketimbang menyemai kesatuan bangsa untuk membawa kehidupan lebih unggul dan maju.
Semenjak proses pilkada DKI Jakarta 2017 sudah menguat perdebatan ‘kebhinekaan’ dan ‘keindonesia-an. Banyak perang berhenti pada jargon dan sumpah serapah serta penghinaan-penghinaan satu kelompok dengan kelompok lainnya melalui media sosial. Fenomena diskursif seperti ini sangat tidak produktif dan mengarah pada gagal move on untuk kehidupan bernegara dan berbangsa.
Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, mengenalkan istilah toleransi otentik atau setara dengan penghargaan atas perbedaan yang tulus dan jernih dalam kehidupan sehari-hari –bukan insidental.
(Baca juga: KOKAM Tidak Jaga Gereja: Selain Tidak Ada Ancaman Keamanan, juga Hindari Sikap Toleransi Seakan-akan)
Sebagai contoh, bagaimana Muhammadiyah mempunyai kekuatan toleransi otentik untuk menyanggah dan memperkuat pilar negara adalah dengan aksi-aksi pelayanan di bidang sosial-kemanusiaan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pelayanan pendidikan keagamaan (mendirikan ribuan masjid).
Dalam bidang kemanusiaan, Muhammadiyah menolang berbagai korban bencana alam, bencana ekonomi tidak melihat suku, agama, golongan, dan afiliasi partai politik. Begitu juga pelayanan ratusan rumah sakit dan klinik Muhammadiyah adalah bentuk aksi kebangsaan yang otentik, tidak dibuat-buat sebagai artificial untuk memenangkan klaim ‘paling toleran.’
Terlebih lagi, dalam pelayanan bidang pendidikan yang merupakan kerja kerja nyata memajukan sumber daya manusia Indonesia melalui ribuan sekolah dasar dan menengah di semua penjuruh tanah air, Muhammadiyah melayani semua tanpa ada perbedaan perlakuan. Dalam memperkuat agenda penelitian, pengabdian, dan pengajaran atau darma bakti untuk bangsa Muhammadiyah telah mengelola 176 perguruan tinggi dan itu adalah model lembaga pendidikan yang benar-benar untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih berdaya, lebih unggul, dan berorientasi kepentingan nasional.
Muhammadiyah tidak mengkususkan universitasnya hanya kalangan sendiri. Di kawasan Indonesia bagian timur, seperti di Sorong (Papua Barat) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur), mahasiswa di lembaga pendidikan Muhammadiyah mencapai 80 % dan 70% yang beragama non-muslim belajar dan mengembangkan diri di sana. Semua berjalan dalam suasana damai dan nyaman.
(Baca juga: Cerita Sekolah Muhammadiyah di Daerah Non-Muslim)
Terakhir, kita saksikan di bulan Ramadan ini, ada ribuan forum pengajian dan pengkajian di Muhammadiyah dan tidak kita saksikan satupun yang bernada memberontak pancasila atau melemahkan negara dalam bentuk upaya-upaya makar. Sebaliknya, konten-konten forum adalah berisi dorongan agar berprestasi dan mampu memberikan karya terbaik untuk bangsanya. Bentuk patriotisme yang sangat berkemajuan di dalam Muhammadiyah.
Inilah manifesto toleransi otentik itu dan inilah gerakan memperkuat sendi negara dan bangsa yang telah dicapai Muhammadiyah secara gemilang.***